Senin, 20 Februari 2012

Teknologi Pengasapan Ikan

TEKNOLOGI PENGASAPAN  DAN APLIKASINYA
PADA  IKAN

ABSTRAKS
Oleh : Wisnu Wardhono
Pengasapan merupakan suatu metode untuk mengawetkan ikan dengan kombinasi antara penggunaan panas dengan zat kimia yang dihasilkan dari pembakaran kayu. Pengasapan bertujuan untuk membunuh bakteri, merusak aktifitas enzim, mengurangi kadar air dan menyerap berbagai senyawa kimia yang berasal dari asap. Pada proses pengasapan ada dua cara yang utama yang biasa dilakukan ialah pengasapan dingin (cold smoking) dan pengasapan panas (hot smoking). Ikan yang diasap mempunyai daya tahan simpan relatif lama, Kulit ikan yang sudah diasapi biasanya akan menjadi mengkilap.Warna kuning emas sampai kecoklatan dan warna ini timbul karena terjadinya reaksi kimia antara phenol dari asap dengan oksigen dari udara. Demikian pula ikan yang telah diasapi mempunyai rasa dan flavor spesifik yang sedap. Untuk mendapatkan ikan asap yang bermutu baik, maka hal-hal yang harus diperhatikan ialah Kesegaran dan kondisi ikan yang akan diasap, konsentrasi dan kebersihan larutan garam, jenis kayu yang digunakan sebagai sumber asap dan kontrol terhadap suhu dan jumlah asap dalam kamar pengasap. Keamanan produk asapan sangat bervariasi, pengasapan yang bertujuan untuk pengawetan memerlukan intensitas pengasapan yang cukup lama agar senyawa pengawet dalam asap terdifusi cukup ke dalam produk asapan, namun perlu dicermati karena deposit senyawa karsinogen dan toksik juga akan tinggi. Pengasapan yang bertujuan menghasilkan cita rasa asap pada produk, relatif sedikit terpapar oleh senyawa toksik dan karsinogen karena intensitas pengasapan yang lebih ringan.



BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar terdiri atas perairan sehingga Indonesia kaya akan hasil perikanan. Ikan merupakan salah satu komoditi hewani yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Ikan memiliki kandungan gizi yang lengkap, seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Ikan mudah sekali mengalami kerusakan baik secara kimiawi atau mikrobiologi, bila tidak mendapat penanganan yang sesuai. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, maka usaha untuk memperpanjang masa simpan ikan tersebut sudah banyak dilakukan, Salah satu metode pengawetan adalah dengan pengasapan. Pengasapan adalah salah satu usaha pengawetan bahan makanan tertentu, terutama daging dan ikan, bertujuan untuk mendapatkan produk ikan asap yang spesifik antara lain warnanya coklat, bau dan rasanya spesifik yang berdaya simpan relatif lama (Kahoni, 1991).
Teknologi pengasapan telah digunakan secara luas dalam pengolahan pangan dan hasil pertanian. Teknologi pengasapan digunakan sebagai upaya pengeringan sekaligus sebagai penghasil aroma dan rasa pangan seperti: daging asap, ikan asap, sale pisang, mangut lele, produk barbeqeu seperti sate, ikan bakar dan lain sehagainya.. Di bidang hasil pertanian, pengasapan digunakan juga untuk proses pengeringan sekaligus pengawetan seperti bawang merah, jagung dan lain sebagainya dengan cara menempatkan atau menyimpan di para-para di atas tungku dapur dengan bahan bakar kayu. Di bidang perkebunan, teknologi pengasapan digunakan secara tradisional yaitu pada pengolahan karet sheet, pengolahan kopra dan pengomprongan tembakau.
Pengasapan merupakan cara pengolahan atau pengawetan dengan memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemberian senyawa kimia alami dari hasil pembakaran bahan bakar alami. Asap sendiri diartikan sebagai suatu suspensi partikel-partikel padat dan cair dalam medium gas. Melalui pembakaran akan terbentuk senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran tar serta dihasilkan panas. Jadi, proses pengasapan juga termasuk pengawetan dengan cara kimiawi sebab bahan-bahan kimia dalam asap dimasukkan ke dalam makanan yang diawetkan.
Asap merupakan dispersi uap asap dalam udara, yang dihasikan dari proses distilasi kering atau pirolisa biomasa seperti kayu, kulit kayu, tempurung, sabut, bambu, daun, dan lain sebagainya. Proses pirolisa ini berjalan secara bertahap diawali penghilangan air biomasa pada suhu 120-150°C, diikuti tahap kedua proses pirolisa hemiselulosa pada suhu 150-200°C, kemudian tahap ketiga proses pirolisa selulosa pada suhu 250-300 "C, dilanjutkan tahap keempat proses pirolisa lignin pada suhu 400 oC. Pada tahap lebih lanjut proses pirolisa akan menghasilkan senyawa-senyawa baru hasil pirolisa produk kondensasi seperti fenol, tar dan senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang terjadi pada suhu >500 oC (Girrard, 1992; Young Hun-Park, dkk., 2008) sit  Darmadji,  P,  (2009).
Hemiselulosa tersusun dari pentosan (C51-1804) dan heksosan (C6H1005)n. Pirolisa pentosan akan menghasilkan furfural, furan dan derivatnya bersama-sama dengan rantai panjang asam karboksilat sedangkan pirolisa heksosan bersama-sama dengan selulosa membentuk asam asetat dan homolognya (Girrard, 1992; Young Hun- Park, dkk., 2008). sit  Darmadji,  P,  (2009).
Selulosa merupakan rantai panjang lurus dari molekul gula atau polisakarida yang tersusun dan unit glukosa sebagai polimer selulosa. Pirolisa selulosa tahap pertama menghasilkan glukosa, dan reaksi kedua adalah pembentukan asam asetat dan homolognya, bersama¬sama dengan air dan kadang-kadang bersama-sama lignin membentuk furan dan fenol.
Lignin terdiri dari sistem aromatik yang tersusun atas unit-unit fenilpropana. Pirolisa lignin cukup penting karena menghasilkan flavor yang dihasilkan oleh adanya senyawa-senyawa derivat yang termasuk fenol dan ester fenolik seperti guaikol dan siringol bersama¬sama dengan homolog dan derivatnya. Dari basil pirolisa hemiselulosa, selulosa dan lignin tersebut didapatkan lebih dari 400 senyawa, diantara senyawa tersebut terdapat 48 jenis asam, 21 jenis alkohol, 131 jenis karbonil, 22 jenis ester, 46 jenis furan, 16 jenis keton, dan 71 jenis penol (Maga 1988)
Untuk mendapatkan ikan asap yang bermutu tinggi maka harus digunakan jenis kayu keras (nonresinous) atau sabut dan tempurung kelapa, sebab kayu-kayu yang lunak akan menghasilkan asap yang mengandung senyawa-senyawa yang dapat menyebabkan hal-hal dan bau yang tidak diinginkan. Demikian pula Seperti halnya dengan cara-cara pengawetan ikan lainnya, pengasapan tidak dapat menyembunyikan atau menutupi karakteristik-karakteristik dari ikan yang sudah mundur mutunya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan ikan asap yang bermutu baik harus menggunakan bahan mentah (ikan) yang masih segar.
Sebagian besar dari penyebab rendahnya mutu ikan asap ialah digunakannya ikan-ikan yang sudah hampir busuk yang akan menghasilkan produk akhir yang lembek, lengket dan permukaannya tidak cemerlang. Selain dari kesegarannya, faktor-faktor lainnya juga dapat menentukan mutu dari produk akhir, misalnya pengaruh musim dan kondisi ikan tersebut. Baru-baru ini telah ditemukan bahwa ikan asap yang dibuat dari ikan kurus yang baru bertelur mempunyai rupa dan rasa yang kurang memuaskan bila dibandingkan dengan ikan asap yang dibuat dari ikan-ikan gemuk dan dalam kondisi yang sangat baik
B.       Metode Pengasapan
Secara umum, ada 2 cara pengasapan utama yang biasa dilakukan ialah Pengasapan Dingin (cold smoking) dan Pengasapan Panas (hot smoking),  pada pengasapan dingin suhu asap tidak boleh melebihi 400 oC, kelembaban nisbi (RH) yang terbaik antara 60 – 70%. Di atas 70% proses pengeringan berlangsung sangat lambat dan di bawah 60 % permukaan ikan akan mengering terlalu cepat, kadar air ikan asap yang dihasilkan dengan cara pengasapan dingin relatif rendah, sehingga pengasapan terutama diterapkan untuk tujuan pengawetan ikan (ikan asapnya lebih awet dari pada yang dihasilkan dengan cara pengasapan panas).
Ada dua metode dalam pengasapan ikan yaitu pengasapan dingin dan pengasapan panas. Metode pengasapan dingin dan pengasapan panas dibedakan hanya dari suhu yang digunakan untuk mengasapi :

1.        Pengasapan Dingin
Pada pengasapan dingin, produk ikan secara perlahan diasapi dengan temperatur yang rendah (15-30 oC) untuk mencegah koagulasi dari protein otot. Bahan dasarnya bisa segar atau beku. Pengasapan dingin biasanya diterapkan di daerah beriklim sedang. Sedangkan di Indonesia pengasapan dingin jarang digunakan. Spesies ikan tropis dapat di asap secara dingin pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan spesies ikan yang berasal dari perairan beriklim sedang karena proteinnya terdenaturasi pada suhu yang lebih tinggi (Irianto dan Giyatmi, 2009).
1.        Pengasapan Panas
Pengasapan panas lebih dirancang untuk meningkatkan aroma melalui aroma dari asap itu sendiri, dibandingkan untuk pengawetan ikan akibat asap. Pengasapan panas menggunakan suhu yang cukup yaitu 80-90oC. Karena suhunya tinggi, waktu pengasapan pun lebih pendek yaitu 3-8 jam dan bahkan ada yang hanya 2 jam (Adawyah, 2007). Melalui suhu yang tinggi, daging ikan menjadi masak dan tidak perlu diolah terlebih dahulu sebelum disantap.  Pengasapan panas pada prinsipnya merupakan usaha penanganan ikan secara perlahan. Pada pengasapan panas terjadi penyerapan asap, ikan cepat menjadi matang tetapi kadar air di dalam daging masih tinggi sehingga tidak tahan lama (Kadir, 2004).



 Gambar 1.  Ikan yang diasap dengan Cara panas
Untuk mendapatkan hasil awetan yang bermutu tinggi diperlukan perlakukan yang baik selama proses pengawetan seperti : menjaga kebersihan bahan dan alat yang digunakan, menggunakan ikan yang masih segar, serta garam yang bersih. Pada tahapan pengasapan ada beberapa proses yang mempunyai efek pengawetan, yaitu : penggaraman, pengeringan, pemanasan dan pengasapannya sendiri. Di bawah ini dapat di lihat gambar diagram alir pengasapan ikan
 
  Gambar 2.  Diagram Alir Pengasapan ikan.

Proses penggaraman dilakukan sebelum ikan diasapi, penggaraman dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara penggaraman kering ( dry salting) dan penggaraman basah atau larutan (brine salting). Penggaraman menyebabkan daging ikan menjadi lebih kompak, karena garam menarik air dan menggumpalkan protein dalam daging ikan. Pada konsentrasi tertentu, garam dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Disamping itu garam juga menyebabkan daging ikan menjadi enak.
Ikan yang sudah digarami 22 - 25 % selama 1 jam ,  ditiriskan dimasukkan ke dalam kamar asap yang berisi asap panas hasil pembakaran. Pemanasan secara tidak langsung menyebabkan terjadinya penguapan air pada daging ikan, sehingga permukaan air dan dagingnya mengalami pengeringan. Hal ini akan memberikan efek pengawetan karena bakteri-bakteri pembusuk lebih aktif pada produk-produk berair. Oleh karena itu, proses pengeringan mempunyai peranan uang sangat penting dan ketahanan mutu produk tergantung kepada banyaknya air yang diuapkan.
Ikan dapat diasapi dengan pengasapan panas atau dengan pengasapan dingin.  Pada pengasapan dingin panas yang timbul karena asap tidak begitu tinggi efek pengawetannya hampir tidak ada. Untuk meningkatkan daya awet ikan, waktu untuk penasapan harus diperpanjang. Pada pengasapan panas karena jarak antara sumber api (asap) dengan ikan biasanya dekat, maka suhunya lebih tinggi sehingga ikan menjadi masak. Suhu yang tinggi dapat menghentikan aktifitas enzim-enzim yang tidak diinginkan, menggumpalkan protein ikan dan menguapkan sebagian air dari dalam jaringan daging ikan. Jadi disini ikan selain diasapi juga terpanggang sehingga dapat langsung dimakan
Tujuan dari pengasapan adalah utnuk mengawetkan dan member warna dan rasa spesifik pada ikan. sebenarnya asap sendiri daya pengawetnya sangat terbatas (yang tergantung kepada lama dan ketebalan asap), sehingga agar ikan dapat tahan lama, pengasapan harus dikombinasikan dengan cara-cara pengawetan lainnya, misalnya dengan pemakaian zat-zat pengawet atau penyimpanan pada suhu rendah.


BAB II
ULASAN DAN KAJIAN TEORI

A.      Pengaruh Pengasapan  pada Ikan yang Diasap
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa asap mengandung zat-zat yang dapat menghambat pertumbuhan bahkan membunuh bakteri-bakteri pembusuk.. Kulit ikan yang sudah diasapi biasanya akan menjadi mengkilap.Warna kuning emas sampai kecoklatan dan warna ini timbul karena terjadinya reaksi kimia antara phenol dari asap dengan oksigen dari udara. Setelah diasapi ikan mempunyai rasa dan flavor spesifik yang sedap.
1.        Asap Sebagai Pengawet
Potensi asap dapat memperpanjang masa simpan produk dengan mencegah kerusakan akibat aktivitas bakteri pembusuk dan patogen. Senyawa yang mendukung sifat antibakteri dalam destilat asap cair adalah senyawa fenol dan asam. Senyawa fenol dapat menghambat pertumbuhan populasi bakteri dengan memperpanjang fase lag secara proporsional di dalam produk, sedangkan kecepatan pertumbuhan dalam fase eksponensial tetap tidak berubah kecuali konsentrasi fenol yang tinggi. Fraksi fenol yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri adalah fenol dengan titik didih rendah (Barylko-Pikeilna, 1979)
Asam lebih kuat menghambat pertumbuhan bakteri dari pada senyawa fenol, namun apabila keduanya digabungkan akan menghasilkan kemampuan penghambatan yang lebih besar daripada masing-masing senyawa. Selain senyawa fenol masih ada senyawa lain yang berperanan menghambat perturnbuhan bakteri yaitu urotropin sebagai derivat dari piridin dan senyawa pirolignin (Fretheim, dkk., 1980).
Komponen antioksidatif asap adalah senyawa fenol yang bertindak sehagai donor hidrogen dan biasanya efektif dalam jumlah sangat kecil untuk menghambat reaksi oksidasi. Sifat antioksidatif asap disebabkan oleh fenol (titik didih tinggi) terutama 2,6 dimetoksifenol, 2-6 dimetoksi-4-metilfenol dan 2-6-dimetoksi-4- etilfenol. Fenol (bertitik didih rendah) menunjukkan sifat antioksidatif yang lemah (Daun, 1979). Derivat senyawa fenol dalam asap cair yang juga bersifat antioksidatif adalah pirokatekol, hidroquinon, guaikol, eugenol, isoeugenol, vanilin, salisildehid, asam 2- hidroksibenzoat dan asam 4-hidroksihenzoat (Pszczola, 1995) sit  (Darmadji , 2009).
2.        Asap sebagai Pembentuk Warna
Banyak pendapat umum yang menyatakan bahwa pembentukan warna pada pengasapan adalah dihasilkan langsung oleh tar yang terdeposit pada permukaan makanan selama proses pengasapan. Namun deposit tar pada permukaan inert seperti pada selongsong sosis terbuat dari selulosa tidak menghasilkan warna dengan intensitas yang sama dengan yang terdapat pada permukaan bahan makanan berprotein. Hal ini membawa pada dugaan bahwa ada reaksi kimia antara komponen yang terdapat pada asap dan protein dalam makanan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa reaksi karbonil-amino penting dalam pembentukan warna (Ruiter, 1979).
Pewarnaan khas produk asapan berasal dari interaksi antara konstituen karbonil asap dengan gugus amino protein produk menghasilkan warna produk ke kuning keemasan sampai coklat gelap. Pewarnaan ini berkaitan erat dengan parameter teknologi yang digunakan selama pengasapan (Girrard, 1992). Pada pengasapan menggunakan asap cair, warna produk asapan dapat dioptimalkan dengan mengubah komposisinya. Metil glioksal dan glioksal merupakan senyawa karbonil dalam destilat asap tempurung kelapa yang penting dalam pembentukan warna eoklat dan keemasan  (Wendorff, 1993).
3.        Asap sebagai Pemberi Flavor dan Rasa
Senyawa asap memberikan flavor asap (smoky) khas yang tidak dapat digantikan dengan cara lain. Fenol merupakan senyawa yang paling bertanggung jawab pada pembentukan aroma spesifik yang diinginkan pada produk aspan," terutama fenol dengan titik didih medium seperti guaikol, cugenol dan siringol (Guillen dan lbargotta, 1996). Fenol dalam hubungannya dengan sifat sensoris mempunyai bau pungent kresolik, manis, smoky dan seperti terbakar (Daun, 1979). Meskipun senyawa fenol memegang peranan penting dalam flavor tersebut, namun diperlukan senyawa lain seperti karbonil, lakton, dan furan agar flavor karakteristik asap dapat muncul. Ada senyawa minor yang memegang peranan penting juga dalam asap yaitu karbonil dan lakton titik didih tinggi, meliputi homolog 1,2-siklopentadion dan 2- butanoic yang mempunyai bau karamel. Furfural dan asetofenon memunculkan aroma sugary dan flower yang menyenangkan dan membantu mengurangi flavor dari senyawa fenol. (Kim, dkk., 1972).
Gambar 3  Oven Pengasap Ikan
B.       Keamanan Produk Asap
Pirolisa lebih lanjut dari bahan biomasa yang tcrjadi pada suhu tinggi akan mengakibatkan terbentuknya senyawa-senyawa  baru hasil pirolisa produk kondensasi seperti fenol, tar; dan senyawa polyciclic aromatic hydrocarbon (PAH). Senyawa PAH merupakan salah satu golongan polutan karena sifatnya yang karsinogenik, mutagenik, dan sitigenik.
Dari 100 lebih senyawa PAH yang telah diketahui, hanya 16 jenis senyawa yang dinyatakan sehagai polutan utama. Salah satu dari 16 jenis ini, benzo(a)pyrene dilaporkan sehagai senyawa PAH dengan efek karsinogenik yang paling berbahaya (Maga, 1988), sehingga benzo(a)pyrene dijadikan indikator adanva PAH dan digunakan sebagai indeks kuantitatif adanya senyawa karsinogen dalam pangan.
Benzo[a]pyrene, C201-11), adalah lima cincin PAH yang bersifat mutagen, sangat karsinogen, berbentuk padatan kristal kuning yang merupakan senyawa hasil pembakaran tidak sempuma pada suhu antara 350 dan 600 °C.
Keamanan produk asapan sangat bervariasi tergantung pada metoda serta tujuan pengasapan. Pengasapan yang bertujuan untuk pengawetan perlu dicermati karena memerlukan intensitas pengasapan yang cukup lama agar senyawa pengawet dalam asap terdifusi cukup ke dalam produk asapan, namun deposit senyawa karsinogen dan toksik juga akan tinggi, serta aroma dan rasa asap yang sangat kuat. Pengasapan yang bertujuan menghasilkan cita rasa asap pada produk, relatif sedikit terpapar oleh senyawa toksik dan karsinogen karena intensitas pengasapan yang lebih ringan.
Tingkat pencemaran senyawa karsinogen juga tergantung pada kayu yang digunakan sebagai bahan asap. Produk asapan yang diasap menggunakan kayu apel akan terpapar PAH dengan konsentrasi yang rendah sedangkan produk asapan yang diasap dengan kayu cemara akan terkontaminasi PAH dalam bentuk benzo(a)pyrene pada konsentrasi yang tinggi sampai 35.Q7 mg/kg, demikian juga kayu yang bergetah, pada proses pembakaran akan menghasilkan asap dengan cemaran benzo(a)pyrene yang tinggi. Untuk produk-produk asapan yang diasap secara tradisional, juga produk-produk yang kontak langsung dengan nyala api pada suhu yang tinggi menunjukkan tingkat cemaran benzo(a) pyrene yang tinggi seperti, ayam, ikan bakar serta sate bakar (Darmadji, 1996; 2004). Dilaporkan dari total 44 sampel produk asapan 23 sampel terpapar benzo(a)pyrene sebesar lebih 5.9 microgram per kg melebihi dari persyaratan yang ditetapkan FAO/ WHO maksimum sebesar 1 microgram/ kg. (Yabiku, dkk., 1993). Sit.  Darmadji (2009)



BAB III
KESIMPULAN

1.    Ikan yang diawetkan dengan pengasapan hanya mempunyai daya awet yang relative singkat, tergantung kepada kesegaran ikan yang dipakai, lama pengasapan, banyaknya asap yang terserap, serta kadar garam dan kadar air pada produk akhir.
2.    Untuk mendapatkan ikan asap yang bermutu baik, maka hal-hal yang harus diperhatikan ialah :
a.  Kesegaran dan kondisi ikan yang akan diasap
b.  Konsentrasi dan kebersihan larutan garam
c.  Jenis kayu yang digunakan sebagai sumber asap dan
d. Kontrol terhadap suhu dan jumlah asap dalam kamar pengasap.
3.      Keamanan produk asapan sangat bervariasi, pengasapan yang bertujuan untuk pengawetan perlu dicermati karena memerlukan intensitas pengasapan yang cukup lama agar senyawa pengawet dalam asap terdifusi cukup ke dalam produk asapan, namun deposit senyawa karsinogen dan toksik juga akan tinggi, serta aroma dan rasa asap yang sangat kuat. Pengasapan yang bertujuan menghasilkan cita rasa asap pada produk, relatif sedikit terpapar oleh senyawa toksik dan karsinogen karena intensitas pengasapan yang lebih ringan.

 DAFTAR PUSTAKA

Adi Pazwan, (2009). Asap Cair Kayu Karet dan aplikasinya untuk perbaikan warna dan pengawetan kayu karet. Thesis S-2 Teknologi Hasil Perkebunan , 2009

Barylko-Pikeilna N., (1979). Contribution of smoke compound to sensory, bacteriostatic and antioxidative effect in smoked food. Pure and Appl. Chem. 49(11)1667-1671

Darmadji, P. (2009)  Teknologi Asap Cair Dan Aplikasinya  Pada Pangan Dan Hasil Pertanian, teks Pidatu dalam pengukuhan  Guru Besar dalam Bidang Teknologi-rangan dan Hasil Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Jogyakarta

Darmadji, P. (1996). Kadar benzopyren produk-produk asapan tradisional. Proceeding Seminar Nasional Makanan Traditional. Hotel Jayakarta, Yogyakarta, 1996.

Daun, 1979. Interaction of wood smoke componen food, Food technol.. United Nation. New York.
Maga, 1988, Smoke in food processing, CRC Press. New York
Ruiter, 1979, Mercury and selenium in marine- and freswater fish, CIVO-Technologie, afd. Instituut voor Visserijprodukten TNO, Holland




1 komentar:

  1. wah, berarti ikan asap dan ayam panggang mempunyai senyawa yang berbahaya ya?

    BalasHapus