Jumat, 17 Februari 2012

TEKNOLOGI HASIL HEWANI/ BASO TUTUT


PENGARUH RASIO PENGGUNAAN DAGING TUTUT (Bellamya javanicus)  DAN DAGING SAPI TERHADAP SENSORI BAKSO TUTUT

Abstrak

Oleh : Wisnu Wardhono

Diversifikasi olahan produk tutut (keong sawah) dapat menjadi makanan alternatif yang relatif mudah diperoleh khususnya masyarakat di Jawa barat, namun saat ini  produk  bakso tutut  relative masih belum banyak dikenal  ,  padahal bakso  tutut dapat dikembangkan dengan mencampur daging dari sapi Tujuan Penelitian ini adalah untuk : mengetahui pengaruh rasio penggunaan daging tutut dan daging sapi terhadap,kesukaan pada tekstur, warna, bau dan rasa bakso tutut . Materi penelitian ini adalah daging tutut dan daging sapi. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) adapun perlakuan rasio penggunaan daging tutut dengan daging sapi sebagai perlakuan sebesar 100%       (daging tutut) ; 75 %  (daging tutut ), 50 % (daging tutut), dan 25% (daging tutut).  Hasil penelitian: ada pengaruh yang nyata rasio penggunaan daging tutut dengan daging sapi terhadap kesukaan pada tekstur, kesukaan konsumen terhadap warna, bau, dan rasa bakso tutut. Bakso tutut yang dibuat dengan jumlah daging tutut yang meningkat/semakin banyak dagingnya akan menurunkan kesukaan terhadap tekstur,demikian juga sebaliknya. Hasil uji organoleptik untuk  kesukaan terhadap  warna, bau dan rasa yang paling disukai adalah     bakso tutut yang dibuat dengan rasio perbandingan 50 % daging tutut dan 50 % daging sapi. Saran untuk membuat bakso tutut sebaiknya menggunakan daging tutut sebanyak 50%  selebihnya  daging sapi.

 

      

PENDAHULUAN

  
A.      Latar Belakang
Pemanfaatan tutut belum dilakukan secara optimal, sementara tutut berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk bernilai tambah, yaitu diolah menjadi seperti bakso , kripik tutut, kerupuk tutut sate tutut dan lain-lain. Permasalahannya, tutut memiliki karakteristik daging kuning kehitaman, hal ini akan menghasilkan bubur tutut dengan kemampuan pembentukan gel yang rendah dan warna yang gelap serta berbau amis.
Berbeda dengan daging lain, daging keong memerlukan penanganan khusus agar tidak mengeluarkan aroma amis saat di konsumsi. . Perlakuan alkalis atau  mencampurkan keong dengan sedikit kapur dan memilih keong yang benar-benar fresh alias masih hidup untuk langsung dimasak selama 2 jam dapat menghilangkan masalah tersebut.
Diversifikasi olahan produk daging tutut seperti Bakso tutut  dapat menjadi makanan alternatif di Jawa Barat , namun saat ini  produk  bakso tutut relative masih belum banyak dikenal  padahal bakso  tutut  dapat dikembangkan dengan mencampur daging dari sapi, ayam  dll.  Hal ini dimaksudkan selain untuk meningkatkan  kualitas gizinya juga mempertahankan rasa kesukaan konsumen agar bakso tutut dapat diterima konsumen
Sebagaimana diketahui, dari aspek gizi disamping mengandung protein yang tinggi , ternyata dalam tutut  juga dikandung adanya makronutrien, berupa protein dalam kadar yang cukup tinggi pada tubuhnya. Berat daging satu ekor keong sawah dewasa dapat mencapai 4-5 gram. Selain makronutrien, keong sawah ini juga mengandung mikronutrien yang berupa mineral, terutama kalsium yang sangat dibutuhkan oleh manusia.
Hasil penelitian untuk kandungan nutrisi keong sawah ini menyatakan bahwa keong sawah kaya akan protein dan rendah lemak. Diperkirakan keong mengandung 15% protein, 2.4% lemak dan sekitar 80% air. Hal ini yang membuat keong sawah menjadi makanan alternatif kesehatan. Selain itu keong juga kaya kandungan essential fatty acids seperti linoleic acids dan linolenic acids. Sebuah studi menyebutkan bahwa 75% lemak di tubuh keong adalah unsaturated fatty acids. Artinya lemak yang baik dan dibutuhkan tubuh. Selain itu tutut ternyata selain murah dan nikmat bergizi juga bisa meningkatkan vitalitas dan stamina.
Disisi lain daging sapi yang sudah lama dikenal masyarakat sebagai bahan baku produk bakso saat ini harganya semakin mahal , Oleh karena itulah untuk meningkatkan kesukaan konsumen akan olahan bakso tutut  maka perlu diteliti lebih lanjut terutama yang berkaitan dengan Rasio antara daging tutut dengan daging sapi.  .

B.  Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian adalah : Apakah pengaruh rasio penggunaan daging tutut dan daging sapi terhadap uji kesukaan pada tekstur, warna, bau dan rasa baso tutut.
C.      Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian   secara khusus  untuk  mengetahui pengaruh rasio penggunaan daging tutut dan daging sapi terhadap uji kesukaan pada tekstur, warna, bau dan rasa baso tutut.

TINJAUAN PUSTAKA

 A.      Tutut
Tutut disebut juga Keong sawah (Bellamya javanica) adalah sejenis siput air yang mudah dijumpai di perairan tawar Asia tropis, seperti di sawah, aliran parit, serta danau. Hewan bercangkang ini dikenal pula sebagai keong gondang, siput sawah, atau siput air,. Bentuknya agak menyerupai siput murbai, masih berkerabat, tetapi keong sawah memiliki warna cangkang hijau pekat sampai hitam.
Sebagaimana anggota Ampullariidae lainnya, ia memiliki operculum, semacam penutup/pelindung tubuhnya yang lunak ketika menyembunyikan diri di dalam cangkangnya. Hewan ini dikonsumsi secara luas di berbagai wilayah Asia Tenggara dan memiliki nilai gizi yang baik karena mengandung protein yang cukup tinggi. Meskipun demikian, kewaspadaan perlu diberikan karena keong sawah adalah inang dari beberapa penyakit parasit. Selain itu, hewan yang diambil dari dekat persawahan dapat menyimpan sisa pestisida di dalam tubuhnya.
Tutut, paling banyak ditemukan di sawah, di mana air sawah meski berlumpur tapi juga relatif bening. Habitat lainnya di tempat yang juga mirip sawah, yang airnya cukup bening, berlumpur dan airnya tak berarus/bergerak. Siang hari tutut ini bersembunyi ke dasar lumpur sehingga sulit dicari dan dikumpulkan. Malam hari ia menyebar menempel-nempel di batang padi atau tumbuhan lainnya. Pedagang tutut di pasar tradisional biasanya mengumpulkan keong sawah tersebut pagi hari, saat tutut masih berada di permukaan air dan menempel-nempel di batang padi.
Tutut mengandung zat gizi makronutrien berupa protein dalam kadar yang cukup tinggi pada tubuhnya. Berat daging satu ekor tutut dewasa dapat mencapai 4-5 gram. Selain makronutrien, tubuh tutut juga mengandung mikronutrien berupa mineral, terutama kalsium yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Dengan pengelolaan yang tepat, tutut dapat dijadikan sumber protein hewani yang bermutu dengan harga yang jauh lebih murah daripada daging sapi, kambing atau ayam. Di bawah ini dapat dilihat gambar tutut atau sering disebut dengan keong sawah :
http://farm7.static.flickr.com/6136/6017037565_44ca55d1e0.jpg
Gambar 1 Tutut (Keong sawah)
Menurut tulisan dari jurnal Warta Konservasi Volume 14 No. 3, Juli 2006, tentang Lahan Basah dari Wetlands International. Sawah sebagai salah satu tipe lahan basah buatan tidak hanya berperan penting dalam menyediakan jenis-jenis tanaman menyehatkan, namun juga merupakan tempat hidup berbagai binatang air, mulai dari Protozoa (binatang bersel tunggal) sampai vertebrata (binatang bertulang belakang) seperti ikan dan katak. Moluska (keong-keongan dan kerang serta kerabatnya) termasuk juga binatang yang memanfaatkan sawah sebagai tempat hidupnya. Moluska yang hidup di perairan tawar dapat dijabarkan ke dalam kelas Gastropoda yang kita kenal dengan nama keong (bercangkang tunggal) dan kelas Pelecypoda/Bivalvia atau kerang (cangkangnya berkeping dua). Dari catatan pustaka, moluska air tawar yang pernah ditemukan hidup di perairan sawah, ada sebanyak 32 jenis (27 jenis Gastropoda dan 5 jenis Pelecypoda/Bivalvia). Moluska bercangkang tunggal, terdiri dari dua kelompok, yaitu Operculata yang dilengkapi operkulum (penutup cangkang) dan Pulmonata, yang tanpa operkulum. Dibawah ini gambar daging dari tutut :
Daging Tutut atau Keong Sawah
Gambar 2  daging tutut
Teknologi pengolahan keong di Indonesia belum berkembang dengan baik  hal ini disebabkan karena kurang populernya keong sawah  untuk produk olahan  makanan. Teknologi pengolahan tutut di indonesia hanya terbatas pada pengolahan menjadi masakan tradisionil saja, padahal dilihat dari kandungan gizinya sangat menjanjikan dan teknologi daging lumat (Surimi) memungkinkan diterapkan untuk pemanfaatan keong menjadi  bernilai ekonomis tinggi. Surimi adalah produk setengah jadi yang diolah dengan melumatkan daging ikan, udang, kepiting atau keong-keongan, kemudian dicuci dengan air dingin untuk menghilangkan sifat organoleptis yang kurang menarik dan setelah itu dipisahkan airnya.
Surimi merupakan teknologi pengolahan daging ikan yang secara tradisional telah digunakan oleh masyarakat Jepang dengan menggunakan peralatan yang sederhana. Saat ini pengolahan surimi secara komersial telah diproduksi secara mekanis. Pabrik surimi dapat ditemukan di beberapa lokasi di Indonesia. Surimi dapat dipasarkan dalam keadaan beku. Surimi dan daging lumat merupakan produk setengah jadi yang dapat diolah menjadi berbagai jenis produk, seperti bakso, sosis, nugget, burger, sate lilit, otak-otak, dan pempek. Di Jepang, surimi diolah menjadi kamaboko, chikuwa, hanpen, dan fish ham. Selain itu surimi juga dapat digunakan untuk produksi surimi based products seperti produk analog udang , daging kepiting, kerang/keong-keongan.
B.       Daging Sapi
            Daging adalah bahan pangan asal ternak yang kaya akan kandungan nilai nutrisi antara lain mengandung unsur-unsur air , protein , lemak mineral dan vitamin. Komposisi ini yang membuat bahwa daging merupakan bahan makanan yang mempunyai nilai gizi tinggi sehingga bermanfaat bagi  pemenuhan kebutuhan tubuh dan secara tidak langsung juga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, sehingga daging cepat mudah rusak. Acker  (1971)
            Nilai kalori daging banyak ditentukan oleh kandungan lemak intraseluler  didalam serabut-serabut otot yang disebut lemak marbling  atau Intramusculer. Nilai kalori daging juga tergantung pada jumlah daging yang dimakan. Secara relative , kandungan gizi daging dari berbagai ternak. ( Soeparno, 1994 )
             Selain itu dikatakan juga , kualitas daging sangat dipengaruhi oleh factor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang mem-pengaruhi  kualitas daging antara lain genetic, spesies , bangsa. Type ternak , jenis kelamin , umur , stress dan pakan ternak . Adapun factor sesudah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging adalah pelayuan , pemasakan , pH  karkas dan daging , enzim pengempuk , hormon dan antibiotic 
Menurut Soeparno ( 2001) bahwa daging yang digunakan dalam proses pembuatan bakso adalah daging yang belum mengalami rigormortis, hal ini dikarenakan filamen aktin dan miosin daging yang saling menindih dan terkunci bersama-sama membentuk ikatan aktomiosin yang permanen sehingga daging menjadi lebih padat dan bakso yang dihasilkan menjadi lebih kenyal dan padat.
Lebih jauh dikatakan juga bahwa kualitas bakso ditentukan oleh bahan mentahnya terutama jenis dan mutu daging, macam tepung yang digunakan serta perbandingannya didalam adonan. Faktor lain seperti bahan tambahan dan cara pemasakan sangat mempengaruhi mutu bakso yang dihasilkan.
            Sedangkan dikatakan bakso mempunyai mutu yang baik menurut wibowo (1985) adalah apabila bakso tersebut mempunyai tekstur yang kompak, tidak lembek, tidak basah berair dan tidak rapuh , mempunyai rasa lezat, enak rasa  daging dominan dibanding rasa bumbunya, serta mempunyai warna coklat muda , cerah atau sedikit kemerahan, warna tersebut harus merata, tanpa warna lain yang mengganggu.
            Kualitas bakso ditentukan oleh  terutama jenis atau mutu daging , macam tepung yang digunakan serta perbandingannya didalam adonan. Faktor lain seperti bahan tambahan dan cara pemasakan sangat mempengaruhi mutu bakso yang dihasilkan. (Anonymus, 1997).  
C.      Baso tutut
Bahan utama bakso tutut adalah bubur tutut yang dibuat dari daging tutut segar, dan daging sapi sebagai pencampur. Flavor bakso sangat dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan. Untuk mendapatkan produk bakso yang lezat dan teksturnya kompak perlu ditambahkan:
a)      tepung tapioka sekitar 10% – 15%
b)      es batu 15 – 20 %
c)      garam NaCl halus 2,5%
d)     bawang putih 3%
e)      bawang merah 2 - 2,5%
f)       lada sebesar 0,5% dari berat daging.
Proses pembuatan bakso tutut adalah sebagai berikut: daging tutut dan daging sapi dengan rasio perbandingan yang telah ditentukan kemudian dibersihkan dan dilumatkan menggunakan alat penggiling daging atau meat sparator / food prosessor. Daging lumat campuran tersebut dicuci / direndam selama 10 menit menggunakan air dingin atau air es yang bersuhu 5 OC.  Daging lumat yang sudah dicuci dan ditiriskan, digiling dengan garam, bumbu, tepung tapioka dan es batu hingga rata. Adonan yang sudah homogen dicetak menjadi bola-bola bakso yang siap direbus dengan air mendidih secara bertahap hingga matang. Bila bakso sudah mengapung dipermukaan air, berarti bakso sudah matang dan siap diangkat. Bakso yang sudah diangkat, ditiriskan dan didinginkan. Selanjunya dikemas dengan kantong plastik dan ditutup rapat. Untuk mengawetkan bakso dapat disimpan dalam lemari pendingin atau refrigerator bersuhu 5 OC.
Pemberian es batu pada adonan dimaksudkan untuk pembentukan gel. Mengingat selama penanganan, pengilingan dan pembentukan emulsi aktomiosin tidak boleh mengalami denaturasi, oleh karena itu selama proses tersebut suhu daging dipertahankan dibawah 15 °C .
Pada pembuatan adonan (emulsi) ditambahkan garam dapur, pati dan bumbu¬bumbu. Garam ditambahkan pertama kali dan digunakan untuk mengekstrak protein aktomiosin sehingga terbentuk pasta sol aktomiosin. Selain itu garam juga digunakan sebagai bumbu untuk menambahkan cita rasa asin. Garam dapur yang digunakan sekitar 2,5 - 3 persen. Penggunaan garam yang terlalu banyak sekali menimbulkan rasa asin yang berlebihan juga menyebabkan denaturasi protein. Penggunaan garam yang terlalu sedikit menyebabkan tekstur bakso yang dihasilkan kurang baik karena ekstraksi protein aktomiosin kurang sempurna.
Pati ditambahkan untuk memperbaiki adonan, meningkatkan daya ikat air, memperkecil penyusutan dan memperbaiki tekstur. Penggunaan pati berkisar antara 0 - 3 persen. Bahan lain yang digunakan dalam pembuatan bakso yaitu gula, putih telur dan MSG. Gula yang digunakan biasanya sukrosa untuk menimbulkan rasa manis dan menghambat denaturasi protein aktomiosin karena meningkatkan tegangan permukaan air. Putih telur digunakan untuk memperbaiki penampakan produk, sedangkan MSG untuk meningkatkan cita rasa.
Pencetakan adonan bakso harus segera dilakukan untuk menghindari terbentuknya gel suwari. Adonan yang sudah membentuk gel akan sulit dicetak. Proses pemanasan menyebabkan terjadinya pembentukan gel. Pada saat pemanasan, adonan (sol aktomiosin) akan berubah membentuk gel "suwari". Selanjutnya pada suhu sekitar 60° C terjadi pelunakan gel pada suhu di atas 70°C terbentuk gel bakso yang kenyal dan elastis. Pemanasan dapat dilakukan dengan perebusan, pengukusan, penggorengan
D.      Uji Organoleptik     
Menurut Winarno dkk (1984) bahwa cita rasa sebagian besar bahan pangan biasanya tidak stabil yaitu dapat mengalami perubahan selama dalam penanganan, pengolahan dan penyimpanan. Secara subyektif cita rasa makanan dapat diamati dengan cara organoleptik. Cita rasa bahan makanan sebenarnya terdiri dari 3 komponen yaitu bau, rasa dan tekstur.    
Penilaian indra juga disebut penilaian organeleptik. Metode dalam uji organoleptik biasanya digunakan untuk membedakan kualitas makanan tentang rasa, bau dan warna yang secara lansung dapat dibedakan. Secara baris besar sensory test dibedakan atas uji kesukaan dan uji perbedaan. Pada uji perbedaan penulis diminta untuk membedakan produk dari dua perlakuan atau lebih. Sedangkan pada uji kesukaan penulis diminta untuk menetukan produk mana yang paling disukai diantara perlakukan tersebut (Soewarsono, 1985).
            Spesialis sensori dan ahli ilmu pangan mengklarifikasikan uji sensori sebagai berikut : Pengujian yang digunakan untuk mengevaluasi presensi, penerimaan atau derajad kesukaan terhadap produk pangan disebut oengujian yang berorientasi pada konsumen (consumer oriented). Pengujian yang digunakan untuk mengetahui perbedaan diantara produk atau untuk mengukur karakteristik sensori disebut pengujian yang berorientasi pada produk ( Product – oriented ). 

MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan  dapat memberikan kontribusi pada masyarakat dengan dikenalkannya bakso tutut serta diharapkan dapat meningkatkan kesukaan konsumen akan tutut , dalam jangka panjang  secara tidak langsung dengan meningkatnya konsumsi tutut sebagi sumber protein  akan mengurangi gejala kekurangan kalori protein (KKP) di masyarakat yang dapat menyebabkan pertumbuhan   anak lambat.   

METODE  PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal  9 Oktober  2011 di Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Bandung Raya.
A.    Batasan variable
1.    Bakso tutut  adalah produk olahan daging tutut dengan penambahan daging sapi dengan rasio yang berbeda beda sesuai perlakuan yang dihaluskan dan dicampur dengan tepung tapioca dan bumbu bumbu kemudian dibentuk bulat bulat dan direbus hingga matang terapung. 
2.    Kadar protein kasar adalah jumlah protein kasar yang terdapat dalam bakso tutut , analisa protein kasar menggunakan petunjuk Sudarmaji ( 1999).
3.    Uji organoleptik adalah uji kesukaan bakso tutut dengan menggunakan panelis parameter  kesukaan yang diamati  meliputi : rasa , bau, warna dan tekstur bakso tutut  Uji organoleptik menggunakan metode berdasarkan metode Larmond ( 2000) 
B.  Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian percobaan dengan  menggunakan Rancangan             Acak Lengkap (RAL) .   Perlakuan Penelitian dilakukan untuk menentukan  rasio penggunaan daging tutut   dengan daging sapi yaitu :
·      P1 = pemberian rasio daging tutut dan daging sapi   sebesar 100 % : 0 % 
·      P2 = pemberian rasio daging tutut dan daging sapi   sebesar 75  %  : 25 % 
·      P3 = pemberian rasio daging tutut dan daging sapi   sebesar 50  %  : 50 % 
·      P4 = pemberian rasio daging tutut dan daging sapi   sebesar 25  %  : 75
·      Kontrol = pemberian daging sapi 100 %
Masing masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali
C.  Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis variansi dan apabila pada perlakuan terdapat perbedaan nyata, maka dilanjutkan Uji Beda Nyata Terkecil ( BNT) .
Uji kesukaan konsumen akan produk bakso  tutut    yang dibuat dengan rasio yang berbeda    berdasarkan metode Larmond ( 2000) . Pengujian ini berorientasi pada konsumen dengan menggunakan uji hedonic. Uji hedonic didesain untuk mengukur derajad kesukaan konsumen terhadap suatu produk. Panelis menujukan derajad kesukaannya pada setiap contoh bakso  tutut  dengan memilih kategori yang sesuai. Pada uji ini memakai scala skoring dengan jumlah panelis 30  orang. Bahan yang dinilai dalam bentuk masak yang dinilai adalah warna, bau, tekstur  dan rasa.  Adapun skor masing masing panelis adalah :

·         Amat Sangat menyukai    : 5
·         Menyukai                         : 4
·         Agak menyukai                : 3
·         Tidak menyukai               : 2
·         Sangat tidak menyukai    : 1

Adapun formulasinya adalah sebagai berikut :
BAHAN BAHAN
FORMULASI




K25(g)
K50(g)
K75 (g)
K100(g)
Daging Sapi
375
250
125
0
Daging Tutut
125
250
375
500
Tep Tapioka
50
50
50
50
Garam
5
5
5
5
Bawang Putih
10
10
10
10
Lada
10
10
10
10
Putih Telur
10
10
10
10
STF(SodiumTripoliFosfat)
1
1
1
1
MSG
1
1
1
1
Sumber : Pancapalaga W. (2005)
            Untuk K0, sebagai control maka pemberian daging tutut tidak diberikan sama sekali hanya menggunakan daging sapi 100 % (500 g) sedang bumbu yang lainnya sama.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesukaan Terhadap Teksturs Baso Tutut
Rataan kadar protein bakso tutut pada berbagai perlakuan dapat ditunjukkan
pada table berikut :
Tabel 1 : Kesukaan terhadap Tekstur Bakso Tutut
Perlakuan
K100
K75
K50
K25
K0

2,84
3,00
3,96
4,00
4,23
Notasi
a
a
b
b
c
           
Dari hasil analisis dua beda rata-rata menunjukan bahwa rasio penggunaan daging tutut dan daging sapi memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% terhadap kesukaan terhadap tekstur bakso tutut, semakin banyak daging tutut dalam pembuatan bakso tutut ternyata memberikan nilai kesukaan yang rendah.    Hal ini disebabkan karena kadar air dari daging sapi lebih rendah dibanding protein daging tutut, akibatnya emulsi yang terbentuk oleh daging sapi lebih kental dan apabila dibuat menjadi baso lebih keras dan padat. Demikian pula apabila penambahan daging tutut lebih banyak dari daging sapi maka tekstur akan lebih lembek dan kurang disukai oleh panelis.
Tekstur merupakan parameter yang penting dalam mengukur mutu makanan
berbahan daging termasuk tutut. Pada umumnya, tutut memiliki tekstur daging yang lebih lembut dari daging sapi karena mengandung jaringan penghubung (connective tissue) yang rendah dan jaringan silang (cross-linking) yang lebih rendah. Perubahan tekstur daging tutut terjadi terutama karena berubahnya jaringan penghubung oleh protease endogen.
Pelunakan dan pelembutan daging dikaitkan dengan hilangnya piringan-piringan Z pada sel otot dengan terlepasnya  α-actinin, pemisahan actomyosin kompleks, penghancuran dan denaturisasi total jaringan penghubung. Pencernaan  sarcolema secara proteolisis yang menghubung kan bagian-bagian struktural yang utama merupakan penyebab utama pelunakan. Protease otot, termasuk cathepsin D dan cathepsin L, protease yang teraktivasi oleh kalsium (calpain), trypsin, chymotrypsin, alkaline protease, dan kolagenase    
Kesukaan terhadap  Warna Bakso Tutut
Rataan Uji kesukaan terhadap Warna  bakso tutut pada berbagai perlakuan
ditunjukkan pada tabel berikut :
Tabel 2 : Kesukaan terhadap  warna  Bakso Tutut
Perlakuan
K100
K75
K50
K25
K0

1.12
1.74
3.80
4.20
4.22
Notasi
a
a
b
b
b
Dari hasil analisis ragam menunjukan bahwa Rasio penggunaan daging sapi dan daging tutut terhadap Uji kesukaan terhadap warna  bakso tutut memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5%, semakin banyak daging tutut dalam pembuatan bakso tutut ternyata memberikan warna  yang tidak disukai konsumen.    Hal ini disebabkan karena warna daging tutut setelah digiling menunjukkan warna kehijau hijauan , dan warna ini terasa asing bagi konsumen . Namun demikian setelah dilakukan Uji BNT untuk penggunaan daging tutut 50 % warna kuning kehijauan hijauan tertutup dengan perubahan warna daging sapi sehingga konsumen tidak bisa membedakan antara warna bakso daging sapi dengan yang dicampur daging tutut.
Perubahan warna daging sapi disebabkan oleh perubahan mioglobin berubah warna menjadi coklat saat dimasak. Hal ini disebabkan oleh proses oksidasi atom besi yang terkandung dalam mioglobin itu sendiri, ketika mioglobin terkena oksigen, tingkat oksidasi atom besi adalah +2 dan terikat ke molekul dioksigen (O2), yang akan membuat daging tampak merah cerah. Ketika daging dimasak, atom besi ini akan kehilangan elektron dan tingkat oksidasi atom besi menjadi +3. Hal ini akan membuat daging tampak berwarna cokelat. Selanjutnya warna coklat inilah yang mendominasi warna bakso tutut.
Kesukaan terhadap  Bau Bakso Tutut
Rataan Uji kesukaan terhadap bau  bakso tutut pada berbagai perlakuan
ditunjukkan pada tabel berikut :
Tabel 3 : Kesukaan terhadap  Bau  Bakso Tutut
Perlakuan
K100
K75
K50
K25
K0

1.4
2.3
3.56
4.25
4.3
Notasi
a
a
b
b
b
Dari hasil analisis ragam menunjukan bahwa Rasio penggunaan daging sapi dan daging tutut terhadap uji kesukaan terhadap bau bakso tutut memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5% terhadap Uji, semakin banyak daging tutut dalam pembuatan bakso tutut ternyata memberikan bau yang tidak disukai konsumen. Hal ini disebabkan karena bau  daging tutut setelah dibuat bakso masih berbau amis  dan bau amis  ini menurut  panelis masih sangat terasa pada penambahan daging tutut lebih besar 75%.  Bau amis ini disebabkan karena berasal dari hasil penguraian (dekomposisi), terutama amonia, berbagai senyawa belerang dan bahan kimia bernama amina yang berasal dari hasil penguraian asam-asam amino. Demikian pula terbentuknya bau amis ini berasal dari banyaknya lemak tidak jenuh teroksidasi dibandingkan dengan lemak jenuh. Oksidasi terhadap lemak mengubah mereka menjadi asam organik berbau amis, yang pada gilirannya menambah aroma yang tidak sedap.
Bau amis masih terasa meskipun diolah, untuk mengurangi bau amis dapat dilakukan dengan perendaman dalam larutan alkalis. Namun demikian setelah dilakukan Uji BNT untuk penggunaan daging tutut 50 % bau amis  tertutupi dengan bau  daging sapi sehingga konsumen tidak bisa membedakan antara bau  bakso daging sapi dengan yang dicampur daging tutut.
 Kesukaan terhadap  Rasa Bakso Tutut
Rataan Uji kesukaan terhadap Rasa bakso tutut pada berbagai perlakuan
ditunjukkan pada tabel berikut :
Tabel 4 : Kesukaan terhadap  Rasa  Bakso Tutut
Perlakuan
K100
K75
K50
K25
K0

2.05
2.1
3.73
4.01
4.75
Notasi
a
a
b
b
c
Dari hasil analisis ragam menunjukan bahwa Rasio penggunaan daging sapi dan daging tutut terhadap Uji kesukaan terhadap rasa  bakso tutut memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5%, semakin banyak daging tutut yang ditambahkan pada pembuatan bakso tutut ternyata memberikan rasa yang tidak disukai konsumen. Hal ini disebabkan karena rasa daging tutut setelah dibuat bakso kurang memenuhi selera   konsumen , sebagian besar menyatakan rasa bakso tutut berkaitan dengan tekstur yaitu terlalu lembek dan lengket  , Hal ini disebabkan karena bakso daging  tutut perlu penambahan pengenyal sehingga kelembekkan bisa teratasi. Namun demikian setelah dilakukan Uji BNT untuk penggunaan daging tutut 50 % dan 25 % rasa bakso daging tutut yang paling disukai.
KESIMPULAN DAN SARAN
A.      Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1.    Ada Pengaruh yang nyata rasio penggunaan daging tutut dengan daging sapi terhadap uji tekstur,  warna, bau dan rasa bakso tutut.
2.    Bakso tutut yang dibuat dengan semakin banyak daging tututnya akan menurunkan kekenyalan akibatnya tekstur semakin tidak disukai. Kesukaan terhadap tekstur baso tutut yang paling disukai yaitu pada penambahan daging tutut 50%
3.    Demiikian pula hasil uji kesukaan terhadap untuk warna  , bau dan rasa yang paling disukai adalah bakso tutut yang dibuat dengan rasio perbandingan 50% daging tutut.
B. Saran
   Untuk membuat bakso tutut sebaiknya menggunakan rasio perbandingan 50 % daging tutut dan 50 % daging sapi.

DAFTAR PUSTAKA
Andjar sardjimah dan Purwanto , 2000. Tutut sebagai Alternatif Sumber Protein .
            dalam prosiding Seminar Nasional Makanan Tradisional PKMT Unibraw. Malang

Baswardono , 1999. Studi Teknis Teknologi Tepat Guna untuk Pengolahan Ikan
           Tradisional . Direktorat Jendral Perikanan

Hesti warih. 1999. Pengolahan tutut dengan menggunakan air sungai , sumur dan
PDAM dalam diktat Ahli Usaha Perikanan Jakarta.

Kriston E.S. 1995 . Mempelajari Teknologi Pembuatan Sosis dalam laporan magang Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor


Novitri R.M. 2001. Analisis Finansial Usaha Pembuatan petis tutut  di perusahaan
         Karunia Jaya Desa Balongdowo Kecamatan candi Kabupaten Sidoarjo Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang

Purwanto dan Andjar Sardjinah ( 2000) Profil Kandungan Asam Lemak dalam makanan tradisional Khas Jawa Timur dalam prosiding seminar nasional Makanan  Trdasional PKMT unibraw Malang

Subani, W.Suwiryo , Suminarti 2000. Penelitian Lingkungan Hidup Perairan Tutut, Pemanfaatan hasil dan Pelestarian Sumbernya dalam laporan perikanan laut nomor 23 BPPL Departemen Pertanian . Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar