Jumat, 17 Februari 2012

PENDIDIKAN KELUARGA


PENDIDIKAN NILAI HAKIKI
DALAM KELUARGA


Oleh : Wisnu Wardhono


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan paling utama bagi anak. Keluarga sebagai peletak dasar dan penanaman awal nilai-nilai moral pada anak.  Karena dalam keluarga inilah anak pertama-tama mendapatkan didikan dan bimbingan. Dikatakan lingkungan yang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah didalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah di dalam keluarga. Keluarga menjadi faktor penentu dalam memberikan warna bagi seorang anak. Untuk itu penanaman nilai-nilai hakiki serta nilai moral atau pendidikan bagi anak sejak dini sangat berguna bagi anak dalam pembentukan sikap dan mentalnya.
Tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagian besar diambil dari kedua orang tuanya dan dari anggota keluarga yang lain. Dengan demikian terlihat betapa besar tanggungjawab orang tua terhadap anak.  Bagi seorang anak, keluarga merupakan persekutuan hidup pada lingkungan keluarga dimana ia menjadi pribadi atau diri sendiri.  Keluarga juga merupakan wadah bagi anak dalam konteks proses belajarnya untuk mengembangkan dan membentuk diri dalam fungsi sosialnya.  Disamping itu keluarga merupakan tempat belajar bagi anak dalam segala sikap untuk berbakti kepada Tuhan sebagai perwujudan nilai hidup yang tertinggi. Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang pertama dan utama bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup dan pendidikan anak adalah orang tua.
B.       Pendidikan Nilai
Pendidikan secara hakiki merupakan bantuan dalam rangka proses penyadaran yang meliputi sadar akan dirinya, sadar akan lingkungan, sadar dengan sesama dan sadar dalam naungan Tuhan Yang Maha Esa.  Pendidikan adalah proses yang terorganisasikan untuk membantu agar seseorang mencapai bentuk dirinya yang benar sebagai manusia. Manusia diberi kebebasan, untuk menentukan wujudnya sendiri, tidak ditentukan mutlak oleh faktor-faktor subjektif (bakat, niat, dst) maupun faktor objektif dari luar (lingkungan). Bimbingan untuk mencapai kepenuhan kemampuan disebut pendidikan.  Dalam pendidikan seorang manusia harus belajar mengetahui alam dan sesama manusia berikut seluk beluk hubungannya satu sama lain sampai kepada Tuhan sendiri  Pendidikan adalah pemberian bimbingan dan bantuan rohani bagi yang memerlukan (M.J Langeveld). Nilai adalah hakekat suatu hal, yang menyebabkan hal itu pantas di kejar oleh manusia demi peningkatan kualitas manusia demi peningkatan kualitas manusia atau pantas dicintai, dihormati, dikagumi, atau yang berguna untuk suatu tujuan (Driyarkara, N. 1969). Pendidikan nilai merupakan sentral dalam pendidikan karena pendidikan itu pemanusiaan.   Manusia hanya menjadi mungkin bila dia berbudi, berhati dan berkehendak serta mengaktualisasikan dan mengembangkan budi, hati dan kehendaknya. Pendidikan nilai mengandaikan pandangan hidup dan pandangan manusia tentang dunia dan Tuhan secara menyeluruh (weltanschaung)..
Pendidikan pada hakekatnya adalah proses pemanusiaan dan pemanusiawian, maka petugas utama proses pendidikan adalah si manusia peserta didik sendiri peran pembantu utama adalah orang tua karena dalam setiap terjadinya manusia adalah perkenan Tuhan. Sumber pendidikan adalah kodrat manusia, maka hak pertama atas proses pendidikan ada di tangan rakyat dengan pembantu pertama adalah orang tua, masyarakat dan pemerintah. Untuk itu pendidik harus memiliki ilmu mendidik, psikologi, antropologi, kosmologi, filsafat dan teologi.
  
BAB  II
KAJIAN TEORI / ULASAN

A.    Peran Orang Tua Dalam Pendidikan Nilai Hakiki
Berangkat dari tanggungjawab maka peranan orang tua menjadi penentu bagi perkembangan watak seorang anak baik dilihat dari sisi keagamaan, sosial maupun emosionalnya. Keluarga khususnya orang tua merupakan penanaman utama dasar- dasar moral bagi anak, yang biasanya tercermin dalam sikap dan prilaku orang tua sebagai suri tauladan yang dapat dicontoh anak. Seperti kata pepatah “Buah Tidak Jatuh Jauh dari Pohonnya”. 
Begitu juga sikap dan prilaku serta moral seorang anak tidak jauh berbeda dari orang tuanya, karena mereka merupakan contoh bagi anak. Oleh sebab itu orang tua mempunyai peranan besar dalam pembentukan moral seorang anak. Jika yang contoh yang baik diperoleh oleh anak maka ia akan menjadi anak yang baik, tetapi jika contoh yang buruk yang diperoleh maka menjadi buruklah - moral anak tersebut
Menurut Ki Hajar Dewantara, rasa cinta, rasa bersatu dan lain-lain perasaan dan keadaan jiwa yang pada umumnya sangat berfaedah untuk keberlangsungannya pendidikan, teristimewa pendidikan budi pekerti, terdapatlah didalam hidup keluarga dalam sifat yang kuat dan murni, sehingga tak dapat pusat-pusat pendidikan lain menyamainya.  Segala nilai yang dikenal oleh anak baik yang diperoleh di keluarga maupun di sekolah akan melekat pada dirinya, dan akan menjadi bekal hidupnya kelak dalam bergaul. Nilai tersebut diperoleh oleh anak melalui peletakan dasar-dasar pendidikan sosial anak. Sebab pada dasarnya keluarga merupakan lembaga sosial resmi yang minimal terdiri dari ayah, ibu dan anak.
Perkembangan benih-benih kesadaran nilai pada anak-anak dapat dipupuk sedini mungkin, terutama lewat kehidupan keluarga yang penuh rasa kasih sayang, tolong menolong, gotong royong secara kekeluargaan, menolong saudara atau tetangga yang sakit, bersama-sama menjaga ketertiban, kedamaian, kebersihan dan keserasian serta ikut menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar.
Sehingga dengan pemupukan nilai-nilai hakiki kepada anak sejak dini, anak akan tumbuh menjadi orang dewasa yang memiliki rasa kepedulian yang tinggi, tidak mementingkan kepentingan pribadi. Ia akan tumbuh menjadi orang yang perasa dan pemurah, serta peka terhadap kondisi lingkungan. Tidak menjadi sosok yang apatis, lebih mementingkan diri sendiri serta bersikap masa bodoh terhadap orang disekitarnya.

B.   Menghadapi Perubahan Nilai
Rendahnya pendidikan masyarakat, sistem pendidikan yang tidak mapan, struktur ekonomi yang keropos, serta jati diri bangsa yang belum terinternalisasikan, menjadikan bangsa rentan terhadap nilai-nilai baru yang datang dari luar. Nilai-nilai Barat yang sebagian berseberangan dengan nilai-nilai ketimuran dengan mudah diadopsi, terutama oleh generasi muda. Nilai yang mudah ditiru pada umumnya adalah nilai-nilai yang berisi kesenangan, permainan, dan hedonisme yang sering kali membawa dampak buruk. Sebaliknya, nilai-nilai positif dari Barat seperti kecerdasan dan kemajuan iptek tidak diserap dengan baik.
Demikian pula perkembangan budaya dan pola berpikir masyarakat yang materialistis dan sekularis, maka nilai yang bersumberkan agama belum diupayakan secara optimal. Agama dipandang sebagai salah satu aspek kehidupan yang hanya berkaitan dengan aspek pribadi dan dalam bentuk ritual, karena itu nilai agama hanya menjadi salah satu bagian dari sistem nilai budaya; tidak mendasari nilai budaya secara keseluruhan.  Pelaksanaan ajaran agama dipandang cukup dengan melaksanakan ritual agama, sementara aspek ekonomi, sosial, dan budaya lainnya terlepas dari nilai-nilai agama penganutnya atau dengan kata lain pelaksanaan ritual agama (ibadah) oleh seseorang terlepas dari perilaku sosialnya. Padahal, ibadah itu sendiri memiliki nilai sosial yang harus melekat pada orang yang melaksanakannya, misalnya orang yang salat ditandai dengan perilaku menjauhkan dosa dan kemunkaran, puasa mendorong orang untuk sabar, tidak emosional, tekun, dan tahan uji
Menghadapi persoalan tersebut, di kalangan ahli pendidikan sepakat untuk membina dan mengembangkan pendidikan nilai, moral, dan norma. Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif (Kupperman, 1983). Nilai dilihat dalam posisinya adalah subjektif, yakni setiap orang sesuai dengan kemampuannya dalam menilai sesuatu fakta cenderung melahirkan nilai dan tindakan yang berbeda. Dalam lingkup yang lebih luas, nilai dapat merujuk kepada sekumpulan kebaikan yang disepakati bersama. Ketika kebaikan itu menjadi aturan atau menjadi kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur dalam menilai sesuatu, maka itulah yang disebut norma. Jadi nilai adalah harga yang dituju dari sesuatu perilaku yang sesuai dengan norma yang disepakati. Sedangkan moral adalah kebiasaan atau cara hidup yang terikat pada pertanggungjawaban seseorang terhadap orang lain sehingga kebebasan dan tanggung jawab menjadi syarat mutlak.
Nilai, moral, dan norma merujuk kepada kesepakatan dari suatu masyarakat. Karena itu, nilai, moral, dan norma akan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat (relatif). Agama dipadang sebagai sumber nilai (Nilai Hakiki) karena agama berbicara baik dan buruk, benar, dan salah. Demikian pula, agama Islam memuat ajaran normatif yang berbicara tentang kebaikan yang seyogianya dilakukan manusia dan keburukan yang harus dihindarkannya. Islam memandang manusia sebagai subjek yang paling penting di muka bumi sebagaimana diungkapkan Alquran (Q.S. 45:13) bahwa Allah menundukkan apa yang ada di langit dan di bumi untuk manusia. Sedangkan ketinggian kedudukan manusia terletak pada ketakwaannya, yakni aktivitas yang konsisten kepada nilai-nilai Ilahiah yang diimplementasikan dalam kehidupan sosial.
Dilihat dari asal datangnya nilai, dalam perspektif Islam terdapat dua sumber nilai, yakni Tuhan dan manusia. Nilai yang datang dari Tuhan adalah ajaran-ajaran tentang kebaikan yang terdapat dalam kitab suci. Nilai yang merupakan firman Tuhan bersifat mutlak, tetapi implementasinya dalam bentuk perilaku merupakan penafsiran terhadap firman tersebut bersifat relatif.   Menelusuri makna nilai dalam perspektif Islam dapat dikemukakan konsep-konsep tentang kebaikan yang ditemukan dalam Alquran. Beberapa istilah dalam Alquran yang berkaitan dengan kebaikan, yaitu alhaq dan al-ma'ruf .
Alhaq mengandung arti kebenaran  yang datang dari Allah, sesuatu yang pasti seperti datangnya hari akhir, dan lawan dari kebatilan. Alhaq dalam Alquran dikaitkan dengan Alquran sebagai bentuk sumber dan Muhammad sebagai pembawa yang menyampaikannya kepada manusia. Haq adalah kebenaran yang bersifat mutlak dan datang dari Tuhan melalui wahyu. Manusia diminta untuk menerima dengan tidak ragu-ragu mengenai kebenaran nilai tersebut (Q.S. 2:147). Haq bersifat normatif, global, dan abstrak sehingga memerlukan penjabaran sehingga dapat dilaksanakan secara operasional oleh manusia.

C.    Peran Orang tua dalam menanamkan Nilai-nilai
Peran dan tanggungjawab orang tua dalam mendidik anak nilai-nilai hakiki dalam keluarga sangat dominan sebab di tangan orang tuanyalah baik dan buruknya akhlak anak. Pendidikan dan pembinaan merupakan hal paling penting dan sangat mendesak untuk dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas hidup. Dalam ajaran agama Islam.  Menurut Abdur Rahman al-Bani pendidikan memiliki 4 unsur yaitu :
1.    Menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa (baligh)
2.     Mengembangkan seluruh potensi
3.    Mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan
4.    Melaksanakannya secara bertahap
Dari pendapat tersebut bahwa yang dimaksud dengan pendidikan nilai-nilai  meliputi unsur-unsur memelihara dan mengembangkan potensi atau fitrah anak didik secara bertahap sesuai dengan perkembangannya.
Orang tua dituntut untuk dapat berperan aktif.   Oleh karena itu peranan orang tua sebagai pendidik pertama dan utama dalam menanamkan nilai-nilai terhadap anak yang bersumberkan ajaran agama Islam sangat penting dilakukan agar anak dapat menghiasi hidupnya dengan akhlak yang baik sehingga anak dapat melaksanakan fungsi sosialnya sesuai dengan norma agama, norma hukum dan norma kesusilaan.
Pembiasaan-pembiasaan perilaku seperti melaksanakan nilai-nilai ajaran agama Islam (beribadah), membina hubungan atau interaksi yang harmonis dalam keluarga, memberikan bimbingan, arahan, pengawasan dan nasehat merupakan hal yang senantiasa harus dilakukan oleh orang tua agar perilaku remaja yang menyimpang dapat dikendalikan.
Pola pendidikan dapat diupayakan melalui proses interaksi dan internalisasi dalam kehidupan keluarga dengan menggunakan metode yang tepat seperti yang dikemukakan an-Nahlawi (dalam Dahlan : 1992) bahwa metode pendidikan dan pembinaan akhlak yang perlu diterapkan oleh orang tua dalam kehidupan keluarga  adalah sebagai berikut :
1.    Metode hiwar (percakapan)
2.    Metode kisah
3.    Metopde mendidik dengan amtsal (perumpamaan)
4.    Metode mendidik dengan teladan
5.    Metode mendidik dengan pembiasaan diri dan pengalaman
6.    Metode mendidik dengan mengambil pelajaran dan (peringatan)
7.    Metode mendidik dengan membuat senang dan membuat takut
Materi yang diberikan pada anak dalam pendidikan nilai-nilai sebaiknya tidak terlepas dari ruang lingkup akhlak Islami yang mencakup berbagai aspek seperti yang dikemukakan Hamzah (1996) diantaranya : akhlak terhadap Allah (hablum minallah), akhlak terhadap manusia (hablum minannas), akhlak terhadap alam semesta (hablum minal a’lam) dan akhlak terhadap diri sendiri (hablum minnafsi).
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan institusi sosial yang utama dalam membina nilai-nilai hakiki dalam keluarga. Oleh karena itu orang tua sebagai tiang keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dan tanggungjawab yang besar dalam membina akhlak anak sebab ditangan orang tuanyalah, orang menilai baik buruknya akhlak anak.
Untuk menghindarkan dampak negatif akibat arus globalisasi dan informasi yang terjadi pada saat ini, maka keluarga (orang tua) dituntut untuk menanamkan nilai-nilai hakiki (nilai agama Islam) dengan memberikan contoh yang baik sehingga contoh baik ini dapat dijadikan landasan dalam bersikap dan berperilaku serta menjadi tauladan bagi anak.   Dengan demikian maka peranan keluarga dalam pembinaan akhlak anak perlu ditingkatkan untuk mewujudkan generasi yang kuat, sehat serta berakhlak kharimah yang baik melalui peningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, peningkatan pola interaksi serta peningkatan disiplin dalam berbagai bidang kehidupan.
Aktualisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan sekarang ini menjadi sangat penting terutama dalam memberikan isi dan makna kepada nilai, moral, dan norma masyarakat.   Apalagi pada masyarakat Indonesia yang sedang dalam masa pancaroba ini.  Aktualisasi nilai dilakukan dengan mengartikulasikan nilai-nilai ibadah yang bersifat ritual menjadi aktivitas dan perilaku moral masyarakat sebagai bentuk dari kesalehan sosial.

  



DAFTAR PUSTAKA

Abul Quasem, 1988, Etika Al-Ghazali, Pustaka Bandung.

An-Nahlawi, Penyunting M.D Dahlan, 1992 Prinsip-Prinsip Metoda Pendidikan Islam,  Dalam Keluarga, Di Sekolah dan Di Masyarakat, Diponogoro, Bandung.

Bagus, Lorens, 1996. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia

Hamzah Ya’qub, 1996, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah, Diponogoro,  Bandung.

http//teras kita.wordpress.com/2009/ Pendidikan Agama Islam Dengan              Penenaman Nilai dan Pembiasaan, 
http//bbawor.blogspot.com/2008/08/28/penanaman nilai moral untuk anak sejak dini
Kaswardi, Pendidikan Nilai Memasuki tahun 2000, (Jakarta: Gramedia Widiasarana    Indonesia, 1993), h. 78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar