Jumat, 24 Februari 2012

MANAJEMEN KEPEMIMPINAN

KEPEMIMPINAN DALAM 
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Abstraks
Oleh : Wisnu Wardhono

MBS merupakan pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, komite sekolah, orang tua siswa dan masyarakat. Manajemen berbasis Sekolah mengubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal Local Stakeholder. Kepala Sekolah merupakan motor penggerak, penentu arah kebijakan menuju sekolah dan pendidikan secara luas. Sebagai pengelola institusi satuan pendidikan, kepala sekolah dituntut untuk selalu meningkatkan efektifitas kinerjanya. Untuk mencapai mutu sekolah yang efektif, kepala sekolah dan seluruh stakeholders harus bahu membahu kerjasama dengan penuh kekompakan dalam segala hal. Adanya transformasi peran SDM dari professional manjadi strategik menuntut adanya pengembangan SDM berbasis kompentensi agar kontribusi kinerja SDM terhadap sekolah menjadi jelas dan terukur. Mengingat program pengembangan SDM adalah program yang berkesinambungan maka dalam pelaksanaannya diperlukan proses pembelajaran yang berkelanjutan agar dapat mendukung keberhasilan peningkatan kinerja sekolah.




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pelaksanaan otonomi pendidikan menuntut perubahan dalam sistem supervisi yang bukan saja mengemban fungsi pengawasan tetapi juga fungsi pembinaan terhadap penyelenggaraan pendidikan. Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah nomor 25 tentang Kewenangan Pusat dan Daerah, telah mendorong perubahan besar pada sistem pengelolaan pendidikan di Indonesia. Pendidikan diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah, sementara pemerintah pusat sebatas menyusun acuan dan standar yang bersifat nasional.   Terkait dengan standar yang bersifat nasional , Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 35 ayat (1) menyebutkan bahwa Standar Nasional Pendidikan digunakan sebagai acuan dalam pengembangan pendidikan yang meliputi kurikulum, proses, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan dan pembiayaan pendidikan. Dilanjutkan pada ayat (2) menyebutkan standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana-prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan.
Selanjutnya dalam Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Beberapa fakta menunjukkan bahwa Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Walaupun telah berlalu sejak penetapan UNDP tahun 2000 tentang peringkat mutu sumber daya manusia Indonesia, ternyata hingga saat ini bukannya semakin meningkat, tetapi tetap jalan ditempat, bahkan teridentifikasi semakin menurun. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan mutu manusia Indonesia melalui pendidikan, dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien, sesuai dengan kebutuhan yang semakin mendesak.
Salah satu pendekatan yang dipilih di era desentralisasi sebagai alternatif peningkatan kualitas pendidikan persekolahan adalah pemberian otonomi yang luas di tingkat sekolah serta partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Pendekatan tersebut dikenal dengan model Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS) atau School Based Management.
MBS – sebenarnya bukan lagi wacana baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Konsep ini telah disosialisasikan bersamaan dengan pewacanaan kurikulum 1994 pada tenaga pendidik dan kependidikan. Capaian untuk menjadi Sekolah Mandiri pada masa itu belum dapat terpenuhi karena pemerintah tidak memonitor pelaksanaan program tersebut di lapangan. Pengisian 186 butir Evaluasi Diri dari BAS (Badan Akreditasi Sekolah) yang disyaratkan dalam pemenuhan perolehan akreditasi sekolah menjadi kegiatan yang seremonial dan tak lebih dari pengumpulan dokumen foto copy yang siap diperiksa oleh asessor (Soetikno, 2007).
Pemberian otonomi pendidikan yang luas pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah. 
MBS sebagai model manajemen pendidikan yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas (keluwesan) kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung stakeholder (guru, siswa, orang-tua, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, alumni, anggota seprofesi, dan pemerintah)  untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Depdiknas 2002).
Berbagai fenomena yang terlihat dalam penerapan prinsip-prinsip manajemen pendidikan berbasis sekolah, menunjukkan bahwa masih diperlukan kemauan yang kuat dari pihak pemerintah dan lingkungan sekolah dalam melakukan perubahan sistem penyelenggaraan manajemen persekolahan. Tidak mungkin melakukan perubahan secara utuh dan komprehensif,  jika semua pihak yang terlibat tidak menunjukkan kemauan yang kuat untuk melakukan perubahan itu.  Oleh karenanya, pengenalan secara mendalam dan mendasar tujuan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah merupakan sebuah keharusan oleh siapa saja yang bertanggung jawab dan merasa berkepentingan terhadap pertumbuhan dan perkembangan persekolahan.
Dengan MBS unsur pokok sekolah (constituent) memegang kontrol yang lebih besar pada setiap kejadian di sekolah. Unsur pokok sekolah inilah yang kemudian menjadi lembaga nonstruktural yang disebut dewan sekolah yang anggotanya terdiri dari guru, kepala sekolah, administrator, orang tua, anggota masyarakat, dan murid (Nurkolis, 2003:42).
Perluasan keikutsertaan masyarakat dalam sistem manajemen persekolahan merupakan upaya untuk meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan pendidikan. Sekolah dalam hal ini bukan lagi hanya milik sekolah tetapi hakikat sekolah sebagai sub-sistem dalam sistem masyarakat direkonstruksi sehingga fungsi pendidikan dikembalikan secara utuh dalam melestarikan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Perhatian pemerintah (Indonesia) terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional direfleksikan dalam  berbagai kebijakan pembangunan pendidikan yang secara sistematik telah lama dilakukan sejak rencana pembangunan lima tahun pertama.
Berbagai program inovasi pendidikan baik yang dilaksanakan dalam bentuk kegiatan proyek maupun rutin pada kenyataannya belum menunjukkan hasil pencapaian mutu pendidikan yang mampu membangun daya saing bangsa. Dengan mempertimbangkan peranan strategis pendidikan dalam investasi sumber daya manusia, diyakini bahwa penyelenggaraan pendidikan yang bermutu akan mampu secara bertahap membangun martabat dan daya saing bangsa Indonesia melalui program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang dilaksakan dengan Manajamen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), dengan pendekatan mutu terpadu (TQM).  Oleh sebab itu Kebijakan pembangunan pendidikan harus menunjukkan adanya modal kuat untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.



BAB II
ULASAN DAN KAJIAN TEORI

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bagian penjelasan pasal 51 ayat 1, “manajemen berbasis sekolah atau madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah atau madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah atau madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”. Definisi MBS diuraikan lebih rinci sebagai suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk melakukan redesain terhadap pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan pada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat (Fattah, 2004). MBS atau school based management sendiri merupakan sebuah upaya adaptasi dari paradigma pendidikan baru yang berasaskan desentralisasi. MBS memberikan otoritas pada sekolah untuk mengembangkan prakarsa yang positif untuk kepentingan sekolah.
Dalam pelaksanaannya di lapangan, konsep MBS memiliki instrumen kunci yang dikenal dengan nama Komite Sekolah. Tidak hanya itu, menurut Dr JC Tukiman Taruna, seorang pakar pendidikan, implementasi MBS secara ideal mensyaratkan beberapa hal yaitu (1) peningkatan kualitas manajemen sekolah yang terlihat melalui transparansi keuangan, perencanaan partisipatif, dan tanggung-gugat (akuntabilitas), (2) peningkatan pembelajaran melalui PAKEM (pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan), dan (3) peningkatan peran serta masyarakat melalui intensitas kepedulian masyarakat terhadap sekolah (Kusmanto, 2004).
MBS mengubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke setiap kelompok yang berkepentingan di tingkat lokal (local stakeholders). Dengan konsep MBS diharapkan setiap sekolah dapat melakukan perbaikan mutu yang berkelanjutan (quality continuous improvement) dan memiliki kemandirian sehingga dapat lebih akuntabel.
Efektivitas keberhasilan pendekatan MBS memerlukan upaya yang strategis, mulai dari perencanaan, implementasi sampai pada evaluasinya yang didasarkan pada analisis kekuatan dan kelemahan sebagai kegiatan evaluasi diri. Hal yang menjadi fokus perbaikan dalam evaluasi diri adalah ketersediaan sumber daya di sekolah dan daerah, serta apa yang menjadi program prioritas. Dalam kaitan ini persyaratan utama yang diperlukan adalah (1) adanya kebutuhan untuk berubah (send of change) atau inovasi, (2) adanya restrukturisasi organisasi pendidikan, dan (3) proses perubahan sebagai proses belajar, serta (4) adanya budaya profesional (corporate culture) di sekolah.
Implementasi MBS pada tingkat satuan pendidikan bukan sekedar luapan semangat desentralisasi yang berlebihan. MBS dilaksanakan semata karena berlandaskan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 51 ayat 1, “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah”. Legalisasi pelaksanaan MBS juga termuat dalam peraturan turunan undang-undang sistem pendidikan nasional, yaitu dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 1, “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”. Keberadaan Komite Sekolah sebagai instrumen kunci dalam pelaksanaan MBS juga tertuang dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 2, “Pengambilan keputusan pada satuan pendidikan dasar dan menengah di bidang non-akademik dilakukan oleh komite sekolah atau madrasah yang dihadiri oleh kepala satuan pendidikan”.
Persoalannya sekarang, apakah MBS mampu mengantisipasi perubahan dan gerak dinamika zaman ketika semua negara di dunia sudah menjadi sebuah perkampungan global? Apakah MBS mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas?
Perubahan yang terjadi akibat semakin mengglobalnya tatanan pergaulan kehidupan dunia saat ini. Di era globalisasi, kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang berkualitas tidak bisa ditawar lagi dengan adanya tantangan yang dihadapi yakni persaingan dengan negara lainnya. Dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, kita semua sepakat bahwa pendidikan memegang peran yang sangat penting. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan salah satu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri (Suryadi, 1999).
Para profesional pendidikan sekarang ini kurang memiliki pengetahuan atau pengalaman yang diperlukan untuk menyiapkan para siswanya memasuki pasar kerja global. Tradisi rupanya menghalangi proses pendidikan untuk melakukan perubahan yang diperlukan agar programnya sesuai dengan kebutuhan siswa. Masyarakat menuntut mutu pendidikan diperbaiki, namun masyarakat enggan mendukung dunia pendidikan untuk mengupayakan perbaikan. Banyak profesional pendidikan yang takut pada perubahan dan tidak tahu cara menjawab tantangan zaman. Para profesional pendidikan mestinya sadar, program mutu di dunia komersial tidak bisa dijalankan dalam bidang pendidikan. Karena proses kerja, budaya dan lingkungan organisasi di kedua bidang itu berbeda. Para profesional pendidikan harus diberi program mutu yang khusus dirancang untuk dunia pendidikan. Salah satu komponen penting program mutu dalam pendidikan adalah mengembangkan sistem pengukuran yang memungkinkan para profesional pendidikan mendokumentasikan dan menunjukkan nilai tambah pendidikan bagi siswa dan komunitasnya.
Masyarakat dan dunia pendidikan mesti mengeliminasi fokus jangka pendeknya. Salah satu ciri dunia modern adalah terjadinya perubahan yang konstan. Perubahan merupakan hal penting. Manajemen mutu dapat membantu sekolah menyesuaikan diri dengan perubahan melalui cara yang positif dan konstruktif. Penyelesaian yang cepat tidak akan memecahkan persoalan pendidikan masa kini.
A.    MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)
Istilah Manajemen berbasis Sekolah merupakan terjemahan dari .School Based Management.. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat.  Pengertian Manajemen berbasis Sekolah menurut beberapa ahli:
Menurut Nanang Fatah: .

MBS merupakan pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, komite sekolah, orang tua siswa dan masyarakat. Manajemen berbasis Sekolah mengubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal Local Stakeholder.

Paradigma konsep MBS mempunyai multidimensi, baik dilihat dari dimensi politik, edukatif, administratif, dan finansial. Dilihat dari dimensi politik, konsep MBS mempunyai 4 aspek, yaitu (1) perwujudan nilai sosial, (2) sumber kekuatan politik, (3) wahana pengujian kekuatan, dan (4) senjata politik. MBS dalam banyak hal telah membawa pengaruh positif dalam (a) peningkatan dan perbaikan pendidikan, (b) efisiensi, (c) pencapaian tujuan politik, serta (d) terciptanya keadilan dan pemerataan untuk memperoleh pendidikan. Indonesia sebagai negara yang majemuk perlu memperhitungkan berbagai variabel dalam penerapan konsep MBS agar pelaksanaannya mencapai efisiensi dan efektivitas yang diinginkan.
Tujuan implementasi program MBS adalah jelas untuk mencapai peningkatan mutu dalam penyelenggaraan pendidikan, sejalan dengan apa yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003, pendidikan diselenggarakan dengan prinsip pemberdayaan seluruh komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Diharapkan dengan menerapkan manajemen dengan pola MBS, sekolah lebih berdaya dalam beberapa hal sebagaimana berikut: (1) menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut, (2) mengetahui sumberdaya yang dimiliki dan input pendidikan yang akan dikembangkan, (3) mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya, (4) bertanggung jawab terhadap orang tua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelenggaraan sekolah, (5) dan persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan. Secara ringkas, yang paling utama dari penerapan MBS adalah tercapainya peningkatan mutu pendidikan dengan cara memberdayakan seluruh potensi sekolah dan stakeholdernya sesuai dengan kebijakan pemerintah dengan mengaplikasikan kaidah-kaidah manajemen sekolah profesional (Satori, 2006).
Sebagai pendekatan sistem pengelolaan yang baru, MBS perlu memperhatikan berbagai aspek dalam tahap pelaksanaannya. Penerapan MBS secara menyeluruh harus dilakukan secara bertahap. Pelaksanaan dapat dibagi ke dalam 3 tahap, yaitu (1) tahap sosialisasi, (2) tahap ploting atau uji coba, dan (3) tahap diseminasi. Dengan mempertimbangkan kondisi sekolah yang beragam, tingkat kemampuan manajemennya maka tahap sosialisasi dapat dilakukan melalui strategi jangka pendek, tahap uji coba melalui strategi jangka menengah, dan tahap diseminasi melalui strategi jangka panjang.
Penahapan tersebut didasarkan pada asumsi-asumsi bahwa baik sekolah maupun masyarakat pada saat ini belum mengenal konsep dan prinsip-prinsip MBS. Demikian pula dalam hal aspek-aspek yang menyangkut ketenagaan, keuangan, kurikulum, sarana prasarana, dan partisipasi masyarakat, memerlukan perubahan yang mendasar dan tingkat kesiapan.
B.    PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM MBS
         Keberhasilan atau kesuksesan pelaksanaan kepemimpinan kepala sekolah dalam mengelola organisasi pendidikan dipengaruhi oleh kemampuan untuk melakukan kegiatan perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (actuating) dan pengawasan (controling) terhadap semua operasional tingkat satuan pendidikan. Keberhasilan sekolah dalam meraih mutu pendidikan yang baik banyak ditentukan melalui peran kepemimpinan kepala sekolah.     
Hal ini disebabkan peran kepala sekolah sangat kuat mempengaruhi prilaku sumber daya ketenagaan dalam hal ini guru dan sumber-sumber daya pendukung lainnya. Sebagaimana dikemukakan Rahman H. (2005: 67) bahwa, kepemimpinan yang efektif membuat sekolah berubah secara dinamis karena adanya komunikasi lancar dalam kehidupan berorganisasi secara sistemik di mana di dalamnya mempunyai ciri dialogis, kerja sama dan tumbuhnya ilmu pengetahuan berpikir, mental model, penguasaan personal, berbagai visi sehingga anggota kelompok di sekolah terpenuhi kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, status dan kepuasan diri. Kepala sekolah dalam membuat kebijakan pengelolaan sekolah diharapkan mampu saling berkonsultasi dengan unsur ketenagaan sekolah secara pedagogis yang dapat mengembangkan potensi guru, staf administrasi dalam melakukan aktifitas untuk meningkatkan kualitas pendidikan satuan pendidikan. Dengan kepemimpinan kepala sekolah yang dialogis, komunikatif akan dapat mendukung perubahan prilaku guru dalam perbaikan-perbaikan mutu pendidikan.
Untuk mengimplementasikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) secara efektif dan efisien kepala sekolah perlu memiliki pengetahuan kepemimpianan, perencanaan, pandangan yang luas tentang sekolah dan pendidikan. Wibawa kepala sekolah harus ditumbuh kembangkan dengan meningkatkan sikap kepedulian, semangat belajar, disiplin kerja, keteladanan, dan hubungan manusiawi sebagai modal untuk menciptakan iklim yang kondusif. Lebih lanjut lagi kepala sekolah di tuntut untuk melakukan fungsinya dalam proses belajar mengajar, dengan melakukan supervisi kelas, pembinaan dan memberikan saran positif kepada guru.
Karena itu dalam implementasi manajemen berbasis sekolah harus mempunyai visi,  misi dan wawasan luas tentang sekolah yang efektif serta kemampuan professional dalam mewujudkannya melalui perencanaan, kepemimpinan, manajerial, dan supervisi pendidikan. Ia juga di tuntut untuk menjalin kerjasama yang harmonis dengan berbagai pihak yang terkait dengan program pendidikan di sekolah.
Komunikasi atau dialogis yang baik dari kepala sekolah dapat dideskripsikan dalam berbagai bidang kegiatan operasional sekolah antara lain: 1) Komunikasi dengan siswa dalam upaya pembinaan siswa 2) Komunikasi dengan orang tua siswa tentang prestasi murid-murid 3) Komunikasi dengan guru dalam waktu tertentu dalam membahas kebijakan baru yang akan diterapkan 4) Komunikasi umum terhadap komite sekolah tentang informasi program perbaikan sekolah 5) Komunikasi dengan mass media dalam mengakses keberhasilan dan hambatan yang dialami sekolah. Rendahnya mutu satuan pendidikan di tanah air Indonesia pada saat sekarang ini merupakan salah satu dampak dari bentuk kepemimpinan kepala sekolah mengelola organisasi satuan pendidikan, karena kepemimpinan merupakan faktor kunci sekolah untuk efektif atau berhasil dengan baik, apabila kepemimpinan kepala sekolah memahami berbagai bentuk pola kepemimpinan sesuai dengan kebutuhan yang terjadi.
Berdasarkan pengamatan pada kondisi pengelolaan sekolah di beberapa sekolah telah  dikembangkan beberapa gaya kepemimpinan dalam upaya perbaikan mutu pendidikan di tingkat sekolah, namun fenomena yang berkembang di masyarakat pada saat ini bahwa penerapan desentralisasi pendidikan seperti aktualisasi manajemen berbasis sekolah belum dapat optimal dilakukan oleh kepala sekolah karena persepsi pemahaman desentralisasi pada tingkat birokrat daerah belum optimal. Bila fenomena aktualisasi desentralisasi pendidikan menghambat kepemimpinan kepala sekolah pada tingkat satuan pendidikan maka dikhawatirkan kepemimpinan apapun yang akan dijalankan pada tingkat satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan akan sulit meraih kualitas pendidikan yang efektif.
Setiap pengambil kebijakan pada setiap tingkat pemerintahan di Indonesia ini harus lebih memahami tentang aturan yang dipedomani dalam menghasilkan sosok kepala sekolah yang berkualitas. Hal ini dapat dilakukan mulai dari proses rekruitmen, diklat dan pengembangan profesi kepala sekolah yang lebih strategis, diharapkan rekruitmen dan pengembangan kepala sekolah dapat menghasilkan pembentukan kepemimpinan kepala sekolah yang terampil mengelola kebutuhan pelanggannya. Selain dari tantangan yang digambarkan di atas, perlu diketahui bahwa sekolah yang tidak efektif dalam meraih mutu ada kalanya dipengaruhi oleh kompleksitas dalam manajemen sekolah seperti kondisi siswa, ketenagaan, sarana-prasana, pembiayaan dan kebijakan pemerintah.
Berdasarkan pengamatan pada kondisi pengelolaan sekolah di beberapa sekolah telah dikembangkan beberapa gaya kepemimpinan dalam upaya perbaikan mutu pendidikan di tingkat sekolah, namun fenomena yang berkembang di masyarakat pada saat ini bahwa penerapan desentralisasi pendidikan seperti aktualisasi manajemen berbasis sekolah belum dapat optimal dilakukan oleh kepala sekolah karena persepsi pemahaman desentralisasi pada tingkat birokrat daerah belum optimal. Bila fenomena aktualisasi desentralisasi pendidikan menghambat kepemimpinan kepala sekolah pada tingkat satuan pendidikan maka dikhawatirkan kepemimpinan apapun yang akan dijalankan pada tingkat satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan akan sulit meraih kualitas pendidikan yang efektif.
Walaupun telah banyak rumusan tentang arti kepemimpinan, tetapi fokus dan ketajamannya masih berbeda-beda. Misalnya, Daresh dan Playco (1995) mendefinisikan kepemimpinan pembelajaran sebagai upaya memimpin para guru agar mengajar lebih baik, yang pada gilirannya dapat memperbaiki prestasi belajar siswanya. Definisi ini kurang komprehensif, karena hanya memfokuskan pada guru. Ahli lain, Petterson (1993), mendefinisikan kepemimpinan pembelajaran yang efektif sebagai berikut:
a.    Kepala sekolah mensosialisasikan dan menamkan isi dan makna visi sekolahnya dengan baik. Dia juga mampu membangun kebiasaan-kebiasaan berbagi pendapat atau urun rembug dalam merumuskan visi dan misi sekolahnya, dan dia selalu menjaga agar visi dan misi sekolah yang telah disepakati oleh warga sekolah hidup subur dalam implementasinya;
b.    Kepala sekolah melibatkan para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sekolah (manajemen partisipatif). Kepala sekolah melibatkan para pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan dan dalam kegiatan operasional sekolah sesuai dengan kemampuan dan batas-batas yuridiksi yang berlaku.
c.    Kepala sekolah memberikan dukungan terhadap pembelajaran, misalnya dia mendukung bahwa pengajaran yang memfokuskan pada kepentingan belajar siswa harus menjadi prioritas.
d.    Kepala sekolah melakukan pemantauan terhadap proses belajar mengajar sehingga memahami lebih mendalam dan menyadari apa yang sedang berlangsung didalam sekolah.
e.    Kepala sekolah berperan sebagai fasilitator sehingga dengan berbagai cara dia dapat mengetahui kesulitan pembelajaran dan dapat membantu guru dalam mengatasi kesulitan belajar tersebut.

Selanjutnya Pidarta (1997) menyatakan bahwa kepala sekolah memiliki peran dan tanggungjawab sebagai manajer, pemimpin, supervisor, dan administrator pendidikan.
1.    Kepala Sekolah Sebagai Manager
    mengadakan prediksi masa depan sekolah, misalnya tentang kualitas yang diinginkan masyarakat
    melakukan inovasi dengan mengambil inisiatif dan kegiatan-kegiatan yang kreatif untuk kemajuan sekolah
    menciptakan strategi atau kebijakan untuk mensukseskan pikiran-pikiran yang inovatif tersebut
    menyusun perencanaan, baik perencanaan strategis maupun perencanaan operasional
    menemukan sumber-sumber pendidikan dan menyediakan fasilitas pendidikan
    melakukan pengendalian atau kontrol terhadap pelaksanaan pendidikan dan hasilnya
2.    Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin
Dalam pelaksanaannya, keberhasilan kepemimpinan kepala sekolah sangat dipengaruhi hal-hal sebagai berikut:
    Kepribadian yang kuat; kepala sekolah harus mengembangkan pribadi agar percaya diri, berani, bersemangat, murah hati, dan memiliki kepekaan sosial.
    Memahami tujuan pendidikan dengan baik; pemahaman yang baik merupakan bekal utama kepala sekolah agar dapat menjelaskan kepada guru, staf dan pihak lain serta menemukan strategi yang tepat untuk mencapainya.
    Pengetahuan yang luas; kepala sekolah harus memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas tentang bidang tugasnya maupun bidang yang lain yang terkait.
    Keterampilan professional yang terkait dengan tugasnya sebagai kepala sekolah, yaitu: (a) keterampilan teknis, misalnya: teknis menyusun jadwal pelajaran, memimpin rapat. (b) keterampilan hubungan kemanusiaan, misalnya : bekerjasama dengan orang lain, memotivasi, guru dan staf (c) Keterampilan konseptual, misalnya mengembangkan konsep pengembangan sekolah, memperkirakan masalah yang akan muncul dan mencari pemecahannya.
    Wahjosumidjo berpendapatbahwa kepala sekolah harus:
o    Menghindarkan diri dari sikap dan perbuatan yang bersifat memaksa atau bertindak keras terhadap guru, staf dan para siswa;
o    Harus mampu melakukan perbuatan yang melahirkan kemauan untuk bekerja dengan penuh semangat dan percaya diri terhadap para guru, staf dan siswa, dengan cara meyakinkan dan membujuk. Meyakinkan (persuade) dilakukan dengan berusaha agar para guru, staf dan siswa percaya bahwa apa yang dilakukan adalah benar. Sedangkan membujuk (induce) adalah berusaha meyakinkan para guru, staf dan siswa bahwa apa yang dilakukan adalah benar.
    Mulyasa juga berpendapat bahwa kepala sekolah yang efektif adalah kepala sekolah yang:
o    mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar dan produktif,
o    dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan,
o    mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan,
o    berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain di sekolah,
o    bekerja dengan tim manajemen,
o    berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

3.    Kepala Sekolah Sebagai Administrator
Sebagai administrator kepala sekolah bertugas:
    melakukan perencanaan
    pengorganisasian
    pengarahan
    pengkoordinasian
    pengawasan terhadap bidang-bidang seperti kurikulum, kesiswaan, kantor, kepegawaian, perlengkapan, keuangan, dan perpustakaan.
Oleh karena itu kepala sekolah harus menguasai:
    pengelolaan pengajaran
    pengelolaan kepegawaian
    pengelolaan kesiswaan
    pengelolaan sarana dan prasarana
    pengelolaan keuangan dan
    pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat.

4.    Kepala Sekolah Sebagai Supervisor
Supervisi merupakan kegiatan membina dan dengan membantu pertumbuhan agar setiap orang mengalami peningkatan pribadi dan profesinya. Supervisi adalah usaha memberi layanan kepada guru-guru baik secara individual maupun secara berkelompok dalam usaha memperbaiki pengajaran dengan tujuan memberikan layanan dan bantuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang dilakukan guru di kelas.
Ngalim Purwanto juga mengemukakan bahwa supervisi ialah suatu aktivitas pembinaan yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan sekolah maupun guru, oleh karena itu program supervisi harus dilakukan oleh supervisor yang memiliki pengetahuan dan keterampilan mengadakan hubungan antar individu dan ketrampilan teknis. Supervisor di dalam tugasnya bukan saja mengandalkan pengalaman sebagai modal utama, tetapi harus diikuti atau diimbangi dengan jenjang pendidikan formal yang memadai.

C.    PERAN KOMITE SEKOLAH  DALAM MBS
Secara yuridis formal, hampir semua sekolah telah memiliki perangkat Komite Sekolah sebagai wakil masyarakat dalam membantu program pendidikan. Komite Sekolah telah menunjukkan perannya sebagai mitra sekolah, terutama bagi kepala sekolah dan guru dalam merancang dan melaksanakan program pendidikan, baik program pembangunan fisik maupun non fisik seperti program pembelajaran di kelas. Namun demikian, dalam perjalanannya kiprah Komite Sekolah belum sepenuhnya melaksanakan peran dan fungsi sebagai organisasi mitra sekolah dalam membantu program pendidikan sesuai dengan rencana. Sejumlah fakta berikut merupakan refleksi empirik tentang potret sebagian Komite Sekolah. Beberapa fakta tentang Komite Sekolah:
a.    Di sebagian daerah, sosialisasi tentang peran Komite Sekolah kepada Masyarakat belum efektif
b.    Di beberapa sekolah, Komite Sekolah hanya berperan sebagai ‘alat kelengkapan’ sekolah
c.    Komite Sekolah hanya difungsikan sebagai pengumpul dana untuk membiayai program sekolah
d.    Tugas pokok dan fungsi Komite Sekolah belum dilaksanakan secara optimal
e.    Di beberapa sekolah, komposisi keanggotaan laki-laki dan perempuan dalam Organisasi Komite Sekolah belum berimbang
Padahal menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 044/U/2002 Tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah peran dan fungsinya adalah, a.  Komite Sekolah berperan sebagai:
1)    Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan;
2)    Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan;
3)    Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan;
4)    Mediator antara pemerintah (mediating agency) dengan masyarakat di satuan pendidikan.
b.  Komite Sekolah berfungsi sebagai berikut:
1)    Membantu sekolah mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (sesuai dengan UU Sisdiknas Pasal 36 Ayat 2);
2)    Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu;
3)    Melakukan kerjasama dengan masyarakat (perorangan/organisasi/dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu;
4)    Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat;
5)    Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai:
a.    kebijakan dan program pendidikan;
b.    Rencana Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS);
c.    kriteria kinerja satuan pendidikan;
d.    kriteria tenaga kependidikan;
e.    kriteria fasilitas pendidikan; dan
f.    hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan;
6)    Mendorong orangtua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan;
7)    Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan;
8)    Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
Dalam menjalankan fungsinya, komite sekolah perlu membentuk suatu jaringan kerja yang tidak terlepas dari sistem persekolahan. Hubungan tersebut menggambarkan adanya interelasi yang kedudukannya harus jelas sehingga masing masing dapat berfungsi optimal dalam rangka menyukseskan implementasi MBS di sekolah. Komite sekolah perlu memiliki program kerja
yang terintegrasi dengan bagian lain dari sekolah, termasuk kepala sekolah, dan Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota. Ironisnya, pada perkembangan praktik di lapangan, ditemukan beberapa fenomena penting, seperti adanya ketidakjelasan peran komite sekolah dan ketidakberdayaan. Padahal, eksistensinya sangatlah penting dan strategis, yakni (1) memberikan pertimbangan dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan; (2) mendukung baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; dan (3) mengontrol dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan, serta sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan (Disdik Prov. Jabar, 2004).
Pemberdayaan komite sekolah merupakan keniscayaan. Setidaknya, perlu dilakukan langkah langkah sebagai berikut. Pertama, mereorganisasi komite sekolah yang pasif atau stagnan. Kedua, memberikan peran atau power yang lebih kuat terhadap komite. Ketiga, menyosialisasikan komite sekolah yang lebih intensif dalam beragam bentuk, seperti pendidikan, pelatihan, ataupun pemberian brosur.
Pihak sekolah jangan hanya memperalat komite sekolah sebagai pengumpul dana dari orang tua siswa. Membangun model hubungan tripartit kerja formal dan terstruktur yang sinergis antara komite sekolah, kepala sekolah, dan Dewan Pendidikan haruslah dilakukan. Komite sekolah, yang notabene representasi orang tua murid, tokoh masyarakat, dan aparat pemerintah, berperan sebagai pihak yang memercayakan pengelolaan sekolah secara penuh kepada kepala sekolah dan stafnya. Komite berperan sebagai pihak yang menetapkan target yang harus dicapai oleh sekolah tiap tahunnya. Organisasi ini berhak memberikan saran dan kritik konstruktif untuk membantu sekolah dalam mencapai targetnya.
Pihak sekolah bertanggung jawab atas kepuasan layanan siswa atau pelanggan (customer) primer di sekolah dalam proses belajar mengajar (PBM) sebagai core business nya. Meski komite berhak memberikan saran dan kritik, keputusan tetap berada pada kepala sekolah dan guru sebagai judgement profesional. Keputusan harus dikomunikasikan secara aktif dengan didukung pertimbangan profesional yang dapat dipahami semua pihak.
D.    PENGEMBANGAN SDM DALAM MENDUKUNG MBS
Keberadaan manusia dalam organisasi memiliki posisi yang sangat vital. Keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh kualitas orang-orang yang bekerja di dalamnya. Perubahan lingkungan yang begitu cepat menuntut kemampuan mereka dalam menangkap fenomena perubahan tersebut, menganalisa dampaknya terhadap organisasi dan menyiapkan langkah-langkah guna menghadapi kondisi tersebut.
Menyimak kenyataan diatas maka peran manajemen sumber daya manusia dalam organisasi tidak hanya sekedar administratif tetapi justru lebih mengarah pada bagaimana mampu mengembangkan potensi sumber daya manusia agar menjadi kreatif dan inovatif. Seiring dengan persaingan yang semakin tajam karena perubahan teknologi yang cepat dan lingkungan yang begitu drastis pada setiap aspek kehidupan manusia maka setiap organisasi membutuhkan sumber daya manusia yang mempunyai kompentensi agar dapat memberikan pelayanan yang prima dan bernilai untuk mendukung MBS. Dengan kata lain organisasi sekolah tidak hanya mampu memberikan pelayanan yang memuaskan (customer satisfaction) tetapi juga berorientasi pada nilai (customer value). Sehingga organisasi sekolah tidak semata-mata mengejar pencapaian produktifitas kerja yang tinggi tetapi lebih pada kinerja dalam proses pencapaiannya.
Kinerja setiap kegiatan dan individu merupakan kunci pencapaian produktivitas. Karena kinerja adalah suatu hasil dimana orang-orang dan sumber daya lain yang ada dalam sekolah secara bersama-sama membawa hasil akhir yang didasarkan pada tingkat mutu dan standar yang telah ditetapkan. Konsekuensinya, sekolah memerlukan sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan kemampuan yang unik sesuai dengan visi dan misi sekolah.
Adanya transformasi peran SDM dari professional manjadi strategik menuntut adanya pengembangan SDM berbasis kompentensi agar kontribusi kinerja SDM terhadap sekolah menjadi jelas dan terukur. Mengingat program pengembangan SDM adalah program yang berkesinambungan maka dalam pelaksanaannya diperlukan proses pembelajaran yang berkelanjutan agar dapat mendukung keberhasilan peningkatan kinerja sekolah untuk mendukung MBS.
Pendidikan dan Pelatihan Berbasis pada Kompetensi-PPBK (competency-based education and or training) merupakan salah satu pendekatan dalam pengembangan SDM yang berfokus pada hasil akhir (outcome). PPBK merupakan suatu proses pendidikan dan pelatihan yang dirancang untuk mengembangkan kemampuan dan ketrampilan secara khusus, untuk mencapai hasil kerja yang berbasis target kinerja (performance target) yang telah ditetapkan. Oleh karena itu PPBK sangat fleksibel dalam proses kesempatan untuk memperoleh kompetensi dengan berbagai cara. Tujuan utama PPBK adalah :
a.    Menghasilkan kompetensi dalam menggunakan ketrampilan yang ditentukan untuk pencapaian standar pada suatu kondisi yang telah ditetapkan dalam berbagai pekerjaan dan jabatan.
b.    Penelusuran (penilaian) kompetensi yang telah dicapai dan sertifikasi. Hasil PPBK hendaknya dihubungkan dengan kebutuhan :
1)    Standar kompetensi yang akan diberikan,
2)    Program Pendidikan dan Pelatihan didasarkan atas uraian kerja,
3)    Kebutuhan multi-skilling,
4)    Alur karir (career path),

E.     MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DALAM KONTEKS STANDARISASI
Komisi Internasional bagi Pendidikan Abad ke 21 yang dibentuk oleh UNESCO melaporkan bahwa di era global ini pendidikan dilaksanakan dengan bersandar pada empat pilar pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together (Delors, 1996). Dalam learning to know peserta didik belajar pengetahuan yang penting sesuai dengan jenjang pendidikan yang diikuti. Dalam learning to do peserta didik mengembangkan keterampilan dengan memadukan pengetahuan yang dikuasai dengan latihan (law of practice), sehingga terbentuk suatu keterampilan yang memungkinkan peserta didik memecahkan masalah dan tantangan kehidupan.
Dalam learning to be, peserta didik belajar menjadi individu yang utuh, memahami arti hidup dan tahu apa yang terbaik dan sebaiknya dilakukan, agar dapat hidup dengan baik. Dalam learning to live together, peserta didik dapat memahami arti hidup dengan orang lain, dengan jalan saling menghormati, saling menghargai, serta memahami tentang adanya saling ketergantungan (interdependency).  Dengan demikian, melalui keempat pilar pendidikan ini diharapkan peserta didik tumbuh menjadi individu yang utuh, yang menyadari segala hak dan kewajiban, serta menguasai ilmu dan teknologi untuk bekal hidupnya.
Untuk menyelenggarakan proses pendidikan yang didasarkan paradigma baru tersebut, diperlukan acuan dasar bagi setiap satuan pendidikan yang meliputi serangkaian kriteria dan kriteria minimal sebagai pedoman, yang saat ini dikenal dengan delapan standar mutu nasional pendidikan. Tujuan standar mutu pendidikan ditetapkan adalah untuk menjamin mutu proses transpormasi, mutu instrumental dan mutu kelulusan, yang meliputi : (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan.
Mengingat bahwa pendidikan itu merupakan suatu sistem dengan komponen-komponen yang saling berkaitan, maka keseluruhan sistem harus sesuai dengan ketentuan yang diharapkan atau standar. Untuk itu masing-masing komponen dalam sistem harus pula sesuai dengan standar yang ditentukan bersama. Hal ini mesti dilakukan dalam kaitan terjadinya penjaminan mutu pendidikan itu sendiri, karena; penjaminan mutu adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga konsumen, produsen, dan pihak lain yang berkepentingan memperoleh kepuasan.
Bila dikaitkan dengan pengelolaan pendidikan, penjaminan mutu yang dimaksud adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan pendidikan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga stakeholders memperoleh kepuasan. Untuk itu, dalam PP 19/2005 delapan standar tersebut di atas merupakan aspek-aspek yang harus memenuhi standar mutu dalam kaitan dengan penjaminan mutu suatu lembaga.
Sistem penjaminan mutu pendidikan adalah sebuah sistem yang dikembangkan oleh satuan pendidikan untuk memastikan bahwa tidak ada penyimpangan berdasarkan standar mutu yang telah ditetapkan dalam proses pendidikan, mulai dari perencanaan, masukan siswa, pembelajaran, asesmen, sampai dengan pengambilan keputusan terhadap siswa. Sistem ini menjamin bahwa luaran pendidikan (atau bisa diperluas sampai alumni satuan pendidikan tersebut) telah ditangani dengan benar (the right first time and every time), sehingga kompetensinya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Sistem penjaminan mutu pendidikan juga bermuara pada upaya peningkatan terus‐menerus (quality improvement), untuk memberi layanan yang memuaskan kastemer (Sallis, 1993. 21).  Secara umum sistem penjaminan mutu terdiri dari komponen planning, implementation, assessment, dan improving. Sebagai sistem yang ditujukan untuk memuaskan kastemer, dalam langkah planning, seharusnya sistem penjaminan mutu dalam satuan pendidikan memasukkan kegiatan supervisi pendidikan sebagai salah satu indikator mutu yang harus dipenuhi dalam sistem tersebut. Sebagai contoh, indikator mutu:
1.    Supervisi pembelajaran oleh pengawas dan/atau LPMP paling sedikit dilakukan satu kali setiap tahun, dan
2.    Pengamatan pembelajaran oleh sesama guru dilakukan paling sedikit satu kali untuk setiap dua bulan.
Dengan adanya indikator mutu seperti itu dan harus dilakukan, maka pihak satuan pendidikan menjamin adanya supervisi, dan supervisi dipandang sebagai kebutuhan untuk meningkatkan mutu, bukan kebutuhan supervisor. Sedangkan dalam tahap implementasi, guru memiliki peran sentral. Gurulah yang  merencanakan, melaksanakan pembelajaran, melakukan asesmen, pembimbingan, dan lain-lain. Keterlibatan pihak lain dalam implementasi dikendalikan oleh standar mutu dan SOP yang telah disusun. Audit mutu dilakukan untuk memberi jawaban apakah penyelenggaraan pendidikan telah memenuhi rambu-rambu, standar ambang, atau kriteria yang ditetapkan (Satori, 2007). Untuk melihat kemajuan pelaksanaan standar tadi dan untuk memastikan bahwa arah pelaksanaan ini sesuai dengan rencana, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi. Evaluasi diri dilakukan terutama untuk melihat kekuatan dan kelemahan satuan pendidikan kaitannya dengan upaya pemenuhan standar.
Proses penjaminan mutu bukan hanya aktivitas untuk memastikan bahwa mutu yang dijanjikan dapat terpenuhi melainkan juga meliputi usaha peningkatan mutu berkelanjutan melalui kegiatan, monitoring dan evaluasi (monev), evaluasi diri, audit, dan benchmarking. Siklus penjaminan mutu dimulai dengan penetapan standar mutu yang ingin dicapai dalam kurun waktu tertentu dan selanjutnya standar ini dilaksanakan dengan upaya semaksimal mungkin agar dapat terpenuhi.
Dalam lingkungan sistem pendidikan, khususnya persekolahan, tuntutan akan penjaminan mutu merupakan gejala yang wajar, karena penyelenggaraan pendidikan yang bermutu merupakan akuntabilitas publik. Setiap komponen pemangku kepentingan pendidikan orang tua, masyarakat, dunia kerja, pemerintah dalam peranan dan kepentingannya masing-masing memiliki kepentingan terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Mutu dalam pengertian memenuhi spesifikasi sering disebut sebagai kesesuaian untuk tujuan atau penggunaan, atau disebut pula sebagai definisi kualitas menurut produsen.
Salah satu bentuk alternatif untuk meyakinkan bahwa produk (barang/jasa) yang dihasilkan oleh produsen atau penyedia jasa tersebut bermutu adalah adanya penjaminan mutu (quality assurance, disingkat QA). Penjaminan mutu merupakan proses sebelum dan selama proses produksi atau penyediaan jasa, yang menitikberatkan pada “jaminan” bahwa produk sesuai spesifikasi daripada pendeteksian dan sortir produk yang tidak memenuhi syarat Penjaminan mutu merupakan strategi pencegahan agar dalam produksinya atau proses peyediaan jasa tidak ada proses yang tidak berguna.
BAB III
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A.    Kesimpulan
Dari tulisan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa, Seiring dengan bergulirnya era dtonomi daerah, terbuka peluang untuk melakukan reorientasi paradigma pendidikan menuju ke arah desentralisasi pengelolaan pendidikan. Peluang tersebut semakin tampak nyata setelah dikeluarkannya kebijakan mengenai otonomi pendidikan melalui strategi pemberlakuan manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS bukan sekedar mengubah penedekatan pengelolaan sekolah dari yang sentralistis ke desentralistis, tetapi lebih dari itu melalui MBS diyakini akan muncul kemandirian sekolah. Melalui penerapan MBS, kepedulian masyarakat untuk ikut serta mengontrol dan menjaga kualitas layanan pendidikan akan lebih terbuka untuk dibangkitkan. Dengan demikian kemandirian sekolah akan diikuti oleh daya kompetisi yang tinggi akan akuntabilitas publik yang memadai.
Kepala sekolah memiliki peran yang sangat besar. Kepala Sekolah merupakan motor penggerak, penentu arah kebijakan menuju sekolah dan pendidikan secara luas. Sebagai pengelola institusi satuan pendidikan, kepala sekolah dituntut untuk selalu meningkatkan efektifitas kinerjanya. Untuk mencapai mutu sekolah yang efektif, kepala sekolah dan seluruh stakeholders harus bahu membahu kerjasama dengan penuh kekompakan dalam segala hal.
Kita harus menyadari bahwa Indonesia masih dalam masa transisi dan memiliki potensi yang sangat besar untuk memainkan peran dalam globalisasi khususnya pada konteks regional. Inilah salah satu tantangan dunia pendidikan kita yaitu menghasilkan SDM yang kompetitif dan tangguh. Adanya transformasi peran SDM dari professional manjadi strategik menuntut adanya pengembangan SDM berbasis kompentensi agar kontribusi kinerja SDM terhadap sekolah menjadi jelas dan terukur. Mengingat program pengembangan SDM adalah program yang berkesinambungan maka dalam pelaksanaannya diperlukan proses pembelajaran yang berkelanjutan agar dapat mendukung keberhasilan peningkatan kinerja sekolah.
Pendidikan dan Pelatihan Berbasis pada Kompetensi-PPBK (competency-based education and or training) merupakan salah satu pendekatan dalam pengembangan SDM yang berfokus pada hasil akhir (outcome). PPBK merupakan suatu proses pendidikan dan pelatihan yang dirancang untuk mengembangkan kemampuan dan ketrampilan secara khusus, untuk mencapai hasil kerja yang berbasis target kinerja (performance target) yang telah ditetapkan.
Kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu: (1). Rendahnya sarana fisik, (2). Rendahnya kualitas guru, (3). Rendahnya kesejahteraan guru, (4). Rendahnya prestasi siswa, (5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, (6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, (7). Mahalnya biaya pendidikan. Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
B.    Rekomendasi
Peran orang tua siswa masih kurang, sehingga harus lebih didorong agar berperan aktif bukan hanya dalam pendanaan sekolah tetapi juga dalam proses pembelajaran. Artinya partisipasi orang tua harus diarahkan untuk memikirkan kemajuan sekolah secara umum dan terutama dalam peningkatan mutu sekolah. Orang tua harus lebih berperan aktif dalam mengembangkan program sekolah serta lebih aktif dalam membimbing belajar anaknya di rumah.
Kekuasaan dan kewenangan sekolah masih kurang, sehingga perlu ditingkatkan. Hakikat MBS adalah dimilikinya kekuasaan, kewenangan dan otonomi di tingkat sekolah itu sendiri. Tanpa itu maka sekolah tidak akan dapat menjalankan program-programnya secara lancar dan bertanggung jawab. Secara umum dari rekomendasi di atas tampak sekali bahwa pada masa transisi ini peran birokrat pendidikan masih menonjol, sementar itu sekolah belum sepenuhnya diberdayakan. Kondisi inilah yang sedikit demi sedikit harus dikikis dan sekolah diberikan kekuasaan, kewenangan, dan otonomi yang sebesar-besarnya sehingga bisa mengatur rumah tangganya sendiri dengan leluasa.
Mengimplementasikan PAKEM (Pembelajaran Kontekstual) di semua sekolah supaya standar pembelajaran kita sesuai dan kompetitif dengan negara lain. Kapan kita akan menghadapi isu-isu yang terbukti meningkatkan mutu pendidikan? Pendidikan Yang Terbaik Masih Adalah: Pendidikan Berbasis-Guru yang Mampu dan Sejahtera, di Sekolah yang Bermutu, dengan Kurikulum yang Sesuai dengan Kebutuhan Siswa-Siswi dan "Well Balanced" (seimbang, dengan banyak macam keterampilan termasuk teknologi), yang Diimplementasikan secara PAKEM. ("Mampu" termasuk Kreatif)
Memberantas korupsi di bidang pendidikan yang sangat memalukan dan membunuh semua harapan kita untuk maju - "Korupsi terjadi di semua tingkatan dari Depdiknas, dinas pendidikan, hingga sekolah" (ICW) "Dinas pendidikan telah menjadi institusi paling korup dan menjadi isntitusi penyumbang koruptor pendidikan terbesar dibanding dengan institusi lainnya."
Menggunakan Teknologi Tepat Guna yang terbaik, terjangkau dan sangat meningkatkan kreativitas siswa-siswi maupun kreativitas guru (seperti di negara maju). Meningkatkan profesionalisme dan bertanggunjawaban guru untuk meningkatkan ilmu dan kemampuan mengajar sendiri . Guru adalah pelaksana pendidikan (dan paling penting) jadi kesejahteraan juga harus sesuai supaya tidak perlu “moonlighting” di tempat lain dan dapat fokus kepada tugasnya.

DAFTAR PUSTAKA
blog.beswandjarum.com/thantienhidayati/tag/mbs/2009/ KAJIAN TERHADAP WACANA MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DITINJAU DARI PERSPEKTIF LEGAL BASIS
Dante N., 2006, PERSPEKTIF DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL. Universitas Keguruan Ganesha. Bali
Depdiknas. 2002. Pedoman Administrasi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah.

http://PojokAntiKorupsi.Com./ "Korupsi terjadi di semua tingkatan dari Depdiknas, dinas pendidikan, hingga sekolah" (ICW)

http://teknologipendidikan.com/solusi.html /Teknologi Tepat Guna
kurniadieffendhi.student.umm.ac.id/2010/02/04/tulisan-diriku/Pendidikan diera Globalisasi
Kepmendiknas No. 044/u/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.

Kusmanto. 2004. Menyoal Manajemen Berbasis Sekolah. Republika, Sabtu, 20 Maret , halaman 6.

Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Grasindo.

Nurkholis, 2007. “Hakikat Desentralisasi Model MBS”. www.diknas.go.id
pustaka.ut.ac.id/puslata/online.php? menu=bmpshort_detail2 & ID = 281 / Konsep dasar Memehami Pendidikan
Saidah I. 2006, IMPLEMENTASI MBS DAN KAITANNYA DENGAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN (STUDI KASUS DI MTs SERPONG). UIN SYARIF HIDAYATULLAH, JAKARTA
Surya Hadi, 2007/ Ilmupendidikan.blogspot.com/ Pendidikan di Indonesia

Syafarudin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, (Jakarta: Grasindo 2002), hal.19 4 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokatis, (Jakarta: Kencana 2004),hal.37
USAID, 2007. ”Studi Peran Kepala Sekolah Dan Komite Sekolah”. www.mbeproject.net

Umaedi, Manajemen mutu berbasis Sekolah / Madrasah (MMBS/M),CEQM,2004 h.1 2 Ibid , hal. 245
www.geocities.com/zai_abidin69/mypage.html/sekolah unggul
Xaviery, 2004. ”Pendidikan Benarkah Wajah Sekolah Ada pada Kepala Sekolah”. www.diknas.go.id

Zamroni, 2005. “Manajemen Berbasis Sekolah : Piranti Reformasi Sistem Pendidikan”. www.diknas.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar