TEKNOLOGI PENGASAPAN DAN APLIKASINYA
PADA IKAN
ABSTRAKS
Oleh
: Wisnu Wardhono
Pengasapan merupakan
suatu metode untuk mengawetkan ikan dengan kombinasi antara penggunaan panas
dengan zat kimia yang dihasilkan dari pembakaran kayu. Pengasapan bertujuan
untuk membunuh bakteri, merusak aktifitas enzim, mengurangi kadar air dan
menyerap berbagai senyawa kimia yang berasal dari asap. Pada proses pengasapan
ada dua cara yang utama yang biasa dilakukan ialah pengasapan dingin (cold smoking) dan pengasapan panas (hot smoking). Ikan yang
diasap mempunyai daya tahan simpan relatif lama, Kulit ikan yang sudah diasapi
biasanya akan menjadi mengkilap.Warna kuning emas sampai kecoklatan dan warna
ini timbul karena terjadinya reaksi kimia antara phenol dari asap dengan
oksigen dari udara. Demikian pula ikan yang telah diasapi mempunyai rasa dan
flavor spesifik yang sedap. Untuk mendapatkan ikan asap yang bermutu baik, maka
hal-hal yang harus diperhatikan ialah Kesegaran dan kondisi ikan yang akan
diasap, konsentrasi dan kebersihan larutan garam, jenis kayu yang digunakan
sebagai sumber asap dan kontrol terhadap suhu dan jumlah asap dalam kamar
pengasap. Keamanan produk asapan sangat bervariasi, pengasapan yang bertujuan
untuk pengawetan memerlukan intensitas pengasapan yang cukup lama agar senyawa
pengawet dalam asap terdifusi cukup ke dalam produk asapan, namun perlu
dicermati karena deposit senyawa karsinogen dan toksik juga akan tinggi.
Pengasapan yang bertujuan menghasilkan cita rasa asap pada produk, relatif
sedikit terpapar oleh senyawa toksik dan karsinogen karena intensitas
pengasapan yang lebih ringan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia
merupakan negara kepulauan yang sebagian besar terdiri atas perairan sehingga
Indonesia kaya akan hasil perikanan. Ikan merupakan salah satu komoditi hewani
yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Ikan memiliki kandungan gizi
yang lengkap, seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Ikan
mudah sekali mengalami kerusakan baik secara kimiawi atau mikrobiologi, bila
tidak mendapat penanganan yang sesuai. Untuk mencegah hal tersebut terjadi,
maka usaha untuk memperpanjang masa simpan ikan tersebut sudah banyak
dilakukan, Salah satu metode pengawetan adalah dengan pengasapan. Pengasapan
adalah salah satu usaha pengawetan bahan makanan tertentu, terutama daging dan
ikan, bertujuan untuk mendapatkan produk ikan asap yang spesifik antara lain
warnanya coklat, bau dan rasanya spesifik yang berdaya simpan relatif lama (Kahoni,
1991).
Teknologi
pengasapan telah digunakan secara luas dalam pengolahan pangan dan hasil
pertanian. Teknologi pengasapan digunakan sebagai upaya pengeringan sekaligus
sebagai penghasil aroma dan rasa pangan seperti: daging asap, ikan asap, sale
pisang, mangut lele, produk barbeqeu seperti sate, ikan bakar dan lain
sehagainya.. Di bidang hasil pertanian, pengasapan digunakan juga untuk proses
pengeringan sekaligus pengawetan seperti bawang merah, jagung dan lain
sebagainya dengan cara menempatkan atau menyimpan di para-para di atas tungku
dapur dengan bahan bakar kayu. Di bidang perkebunan, teknologi pengasapan
digunakan secara tradisional yaitu pada pengolahan karet sheet, pengolahan
kopra dan pengomprongan tembakau.
Pengasapan
merupakan cara pengolahan atau pengawetan dengan memanfaatkan kombinasi
perlakuan pengeringan dan pemberian senyawa kimia alami dari hasil pembakaran
bahan bakar alami. Asap sendiri diartikan sebagai suatu suspensi
partikel-partikel padat dan cair dalam medium gas. Melalui pembakaran akan
terbentuk senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran tar serta
dihasilkan panas. Jadi, proses pengasapan juga termasuk pengawetan dengan cara
kimiawi sebab bahan-bahan kimia dalam asap dimasukkan ke dalam makanan yang
diawetkan.
Asap
merupakan dispersi uap asap dalam udara, yang dihasikan dari proses distilasi
kering atau pirolisa biomasa seperti kayu, kulit kayu, tempurung, sabut, bambu,
daun, dan lain sebagainya. Proses pirolisa ini berjalan secara bertahap diawali penghilangan air biomasa
pada suhu 120-150°C, diikuti tahap
kedua proses pirolisa hemiselulosa pada suhu 150-200°C, kemudian tahap ketiga proses pirolisa
selulosa pada suhu 250-300 "C, dilanjutkan tahap keempat proses pirolisa lignin pada suhu 400 oC.
Pada tahap lebih lanjut proses
pirolisa akan menghasilkan senyawa-senyawa baru hasil pirolisa produk
kondensasi seperti fenol, tar dan senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH)
yang terjadi pada suhu >500 oC (Girrard, 1992; Young Hun-Park,
dkk., 2008) sit Darmadji,
P, (2009).
Hemiselulosa
tersusun dari pentosan (C51-1804) dan heksosan (C6H1005)n. Pirolisa pentosan
akan menghasilkan furfural, furan dan derivatnya bersama-sama dengan rantai
panjang asam karboksilat sedangkan pirolisa heksosan bersama-sama dengan
selulosa membentuk asam asetat dan homolognya (Girrard, 1992; Young Hun- Park,
dkk., 2008). sit Darmadji,
P, (2009).
Selulosa
merupakan rantai panjang lurus dari molekul gula atau polisakarida yang
tersusun dan unit glukosa sebagai polimer selulosa. Pirolisa selulosa tahap
pertama menghasilkan glukosa, dan reaksi kedua adalah pembentukan asam asetat
dan homolognya, bersama¬sama dengan air dan kadang-kadang bersama-sama lignin
membentuk furan dan fenol.
Lignin
terdiri dari sistem aromatik yang tersusun atas unit-unit fenilpropana.
Pirolisa lignin cukup penting karena menghasilkan flavor yang dihasilkan oleh
adanya senyawa-senyawa derivat yang termasuk fenol dan ester fenolik seperti
guaikol dan siringol bersama¬sama dengan homolog dan derivatnya. Dari basil
pirolisa hemiselulosa, selulosa dan lignin tersebut didapatkan lebih dari 400
senyawa, diantara senyawa tersebut terdapat 48 jenis asam, 21 jenis alkohol,
131 jenis karbonil, 22 jenis ester, 46 jenis furan, 16 jenis keton, dan 71
jenis penol (Maga 1988)
Untuk
mendapatkan ikan asap yang bermutu tinggi maka harus digunakan jenis kayu keras
(nonresinous) atau sabut dan tempurung kelapa, sebab kayu-kayu yang lunak akan
menghasilkan asap yang mengandung senyawa-senyawa yang dapat menyebabkan
hal-hal dan bau yang tidak diinginkan. Demikian pula Seperti halnya dengan
cara-cara pengawetan ikan lainnya, pengasapan tidak dapat menyembunyikan atau
menutupi karakteristik-karakteristik dari ikan yang sudah mundur mutunya. Oleh
karena itu, untuk mendapatkan ikan asap yang bermutu baik harus menggunakan
bahan mentah (ikan) yang masih segar.
Sebagian
besar dari penyebab rendahnya mutu ikan asap ialah digunakannya ikan-ikan yang
sudah hampir busuk yang akan menghasilkan produk akhir yang lembek, lengket dan
permukaannya tidak cemerlang. Selain dari kesegarannya, faktor-faktor lainnya
juga dapat menentukan mutu dari produk akhir, misalnya pengaruh musim dan
kondisi ikan tersebut. Baru-baru ini telah ditemukan bahwa ikan asap yang
dibuat dari ikan kurus yang baru bertelur mempunyai rupa dan rasa yang kurang
memuaskan bila dibandingkan dengan ikan asap yang dibuat dari ikan-ikan gemuk dan
dalam kondisi yang sangat baik
B.
Metode Pengasapan
Secara
umum, ada 2 cara pengasapan utama yang biasa dilakukan ialah Pengasapan Dingin (cold smoking) dan Pengasapan Panas (hot smoking), pada pengasapan dingin suhu asap tidak boleh
melebihi 400 oC, kelembaban nisbi (RH) yang terbaik antara 60 – 70%.
Di atas 70% proses pengeringan berlangsung sangat lambat dan di bawah 60 %
permukaan ikan akan mengering terlalu cepat, kadar air ikan asap yang
dihasilkan dengan cara pengasapan dingin relatif rendah, sehingga pengasapan
terutama diterapkan untuk tujuan pengawetan ikan (ikan asapnya lebih awet dari
pada yang dihasilkan dengan cara pengasapan panas).
Ada dua
metode dalam pengasapan ikan yaitu pengasapan dingin dan pengasapan panas.
Metode pengasapan dingin dan pengasapan panas dibedakan hanya dari suhu yang
digunakan untuk mengasapi :
1.
Pengasapan Dingin
Pada
pengasapan dingin, produk ikan secara perlahan diasapi dengan temperatur yang
rendah (15-30 oC) untuk mencegah koagulasi dari protein otot. Bahan
dasarnya bisa segar atau beku. Pengasapan dingin biasanya diterapkan di daerah
beriklim sedang. Sedangkan di Indonesia pengasapan dingin jarang digunakan.
Spesies ikan tropis dapat di asap secara dingin pada suhu yang lebih tinggi
dibandingkan spesies ikan yang berasal dari perairan beriklim sedang karena
proteinnya terdenaturasi pada suhu yang lebih tinggi (Irianto dan Giyatmi,
2009).
1.
Pengasapan Panas
Pengasapan
panas lebih dirancang untuk meningkatkan aroma melalui aroma dari asap itu
sendiri, dibandingkan untuk pengawetan ikan akibat asap. Pengasapan panas
menggunakan suhu yang cukup yaitu 80-90oC. Karena suhunya tinggi,
waktu pengasapan pun lebih pendek yaitu 3-8 jam dan bahkan ada yang hanya 2 jam
(Adawyah, 2007). Melalui suhu yang tinggi, daging ikan menjadi masak dan tidak
perlu diolah terlebih dahulu sebelum disantap.
Pengasapan panas pada prinsipnya merupakan usaha penanganan ikan secara
perlahan. Pada pengasapan panas terjadi penyerapan asap, ikan cepat menjadi
matang tetapi kadar air di dalam daging masih tinggi sehingga tidak tahan lama
(Kadir, 2004).
Gambar
1. Ikan yang diasap dengan Cara panas
Untuk mendapatkan hasil awetan yang
bermutu tinggi diperlukan perlakukan yang baik selama proses pengawetan seperti
: menjaga kebersihan bahan dan alat yang digunakan, menggunakan ikan yang masih
segar, serta garam yang bersih. Pada tahapan pengasapan ada beberapa proses
yang mempunyai efek pengawetan, yaitu : penggaraman, pengeringan, pemanasan dan
pengasapannya sendiri. Di bawah ini dapat di lihat gambar diagram alir
pengasapan ikan
Gambar 2. Diagram Alir Pengasapan
ikan.
Proses penggaraman dilakukan sebelum
ikan diasapi, penggaraman dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara
penggaraman kering ( dry salting) dan penggaraman basah atau larutan (brine
salting). Penggaraman menyebabkan daging ikan menjadi lebih kompak, karena
garam menarik air dan menggumpalkan protein dalam daging ikan. Pada konsentrasi
tertentu, garam dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Disamping itu garam juga
menyebabkan daging ikan menjadi enak.
Ikan yang sudah digarami 22 - 25 %
selama 1 jam , ditiriskan dimasukkan ke
dalam kamar asap yang berisi asap panas hasil pembakaran. Pemanasan secara
tidak langsung menyebabkan terjadinya penguapan air pada daging ikan, sehingga
permukaan air dan dagingnya mengalami pengeringan. Hal ini akan memberikan efek
pengawetan karena bakteri-bakteri pembusuk lebih aktif pada produk-produk
berair. Oleh karena itu, proses pengeringan mempunyai peranan uang sangat
penting dan ketahanan mutu produk tergantung kepada banyaknya air yang
diuapkan.
Ikan dapat diasapi dengan pengasapan
panas atau dengan pengasapan dingin. Pada
pengasapan dingin panas yang timbul karena asap tidak begitu tinggi efek
pengawetannya hampir tidak ada. Untuk meningkatkan daya awet ikan, waktu untuk
penasapan harus diperpanjang. Pada pengasapan panas karena jarak antara sumber
api (asap) dengan ikan biasanya dekat, maka suhunya lebih tinggi sehingga ikan
menjadi masak. Suhu yang tinggi dapat menghentikan aktifitas enzim-enzim yang
tidak diinginkan, menggumpalkan protein ikan dan menguapkan sebagian air dari
dalam jaringan daging ikan. Jadi disini ikan selain diasapi juga terpanggang
sehingga dapat langsung dimakan
Tujuan dari pengasapan adalah utnuk
mengawetkan dan member warna dan rasa spesifik pada ikan. sebenarnya asap
sendiri daya pengawetnya sangat terbatas (yang tergantung kepada lama dan
ketebalan asap), sehingga agar ikan dapat tahan lama, pengasapan harus
dikombinasikan dengan cara-cara pengawetan lainnya, misalnya dengan pemakaian
zat-zat pengawet atau penyimpanan pada suhu rendah.
BAB II
ULASAN DAN KAJIAN TEORI
A.
Pengaruh Pengasapan pada Ikan yang Diasap
Seperti
telah disebutkan di atas, bahwa asap mengandung zat-zat yang dapat menghambat
pertumbuhan bahkan membunuh bakteri-bakteri pembusuk.. Kulit ikan yang sudah
diasapi biasanya akan menjadi mengkilap.Warna kuning emas sampai kecoklatan dan
warna ini timbul karena terjadinya reaksi kimia antara phenol dari asap dengan
oksigen dari udara. Setelah diasapi ikan mempunyai rasa dan flavor spesifik yang
sedap.
1.
Asap Sebagai
Pengawet
Potensi asap dapat memperpanjang
masa simpan produk dengan mencegah kerusakan akibat aktivitas bakteri pembusuk
dan patogen. Senyawa yang mendukung sifat antibakteri dalam destilat asap cair
adalah senyawa fenol dan asam. Senyawa fenol dapat menghambat pertumbuhan
populasi bakteri dengan memperpanjang fase lag secara proporsional di dalam
produk, sedangkan kecepatan pertumbuhan dalam fase eksponensial tetap tidak
berubah kecuali konsentrasi fenol yang tinggi. Fraksi fenol yang mampu
menghambat pertumbuhan bakteri adalah fenol dengan titik didih rendah
(Barylko-Pikeilna, 1979)
Asam lebih kuat menghambat
pertumbuhan bakteri dari pada senyawa fenol, namun apabila keduanya digabungkan
akan menghasilkan kemampuan penghambatan yang lebih besar daripada
masing-masing senyawa. Selain senyawa fenol masih ada senyawa lain yang berperanan
menghambat perturnbuhan bakteri yaitu urotropin sebagai derivat dari piridin
dan senyawa pirolignin (Fretheim, dkk., 1980).
Komponen antioksidatif asap adalah
senyawa fenol yang bertindak sehagai donor hidrogen dan biasanya efektif dalam
jumlah sangat kecil untuk menghambat reaksi oksidasi. Sifat antioksidatif asap
disebabkan oleh fenol (titik didih tinggi) terutama 2,6 dimetoksifenol, 2-6
dimetoksi-4-metilfenol dan 2-6-dimetoksi-4- etilfenol. Fenol (bertitik didih
rendah) menunjukkan sifat antioksidatif yang lemah (Daun, 1979). Derivat
senyawa fenol dalam asap cair yang juga bersifat antioksidatif adalah
pirokatekol, hidroquinon, guaikol, eugenol, isoeugenol, vanilin, salisildehid,
asam 2- hidroksibenzoat dan asam 4-hidroksihenzoat (Pszczola, 1995) sit (Darmadji , 2009).
2.
Asap sebagai
Pembentuk Warna
Banyak pendapat umum yang menyatakan
bahwa pembentukan warna pada pengasapan adalah dihasilkan langsung oleh tar
yang terdeposit pada permukaan makanan selama proses pengasapan. Namun deposit
tar pada permukaan inert seperti pada selongsong sosis terbuat dari selulosa
tidak menghasilkan warna dengan intensitas yang sama dengan yang terdapat pada
permukaan bahan makanan berprotein. Hal ini membawa pada dugaan bahwa ada
reaksi kimia antara komponen yang terdapat pada asap dan protein dalam makanan.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa reaksi karbonil-amino penting dalam
pembentukan warna (Ruiter, 1979).
Pewarnaan khas produk asapan berasal
dari interaksi antara konstituen karbonil asap dengan gugus amino protein produk
menghasilkan warna produk ke kuning keemasan sampai coklat gelap. Pewarnaan ini
berkaitan erat dengan parameter teknologi yang digunakan selama pengasapan
(Girrard, 1992). Pada pengasapan menggunakan asap cair, warna produk asapan
dapat dioptimalkan dengan mengubah komposisinya. Metil glioksal dan glioksal
merupakan senyawa karbonil dalam destilat asap tempurung kelapa yang penting
dalam pembentukan warna eoklat dan keemasan
(Wendorff, 1993).
3.
Asap sebagai
Pemberi Flavor dan Rasa
Senyawa asap memberikan flavor asap
(smoky) khas yang tidak dapat digantikan dengan cara lain. Fenol merupakan
senyawa yang paling bertanggung jawab pada pembentukan aroma spesifik yang
diinginkan pada produk aspan," terutama fenol dengan titik didih medium
seperti guaikol, cugenol dan siringol (Guillen dan lbargotta, 1996). Fenol
dalam hubungannya dengan sifat sensoris mempunyai bau pungent kresolik, manis, smoky
dan seperti terbakar (Daun, 1979). Meskipun senyawa fenol memegang peranan
penting dalam flavor tersebut, namun diperlukan senyawa lain seperti karbonil,
lakton, dan furan agar flavor karakteristik asap dapat muncul. Ada senyawa
minor yang memegang peranan penting juga dalam asap yaitu karbonil dan lakton
titik didih tinggi, meliputi homolog 1,2-siklopentadion dan 2- butanoic yang
mempunyai bau karamel. Furfural dan asetofenon memunculkan aroma sugary dan
flower yang menyenangkan dan membantu mengurangi flavor dari senyawa fenol.
(Kim, dkk., 1972).
Gambar 3 Oven Pengasap Ikan
B. Keamanan Produk Asap
Pirolisa lebih lanjut dari bahan
biomasa yang tcrjadi pada suhu tinggi akan mengakibatkan terbentuknya
senyawa-senyawa baru hasil pirolisa
produk kondensasi seperti fenol, tar; dan senyawa polyciclic aromatic
hydrocarbon (PAH). Senyawa PAH merupakan salah satu golongan polutan karena
sifatnya yang karsinogenik, mutagenik, dan sitigenik.
Dari 100 lebih senyawa PAH yang
telah diketahui, hanya 16 jenis senyawa yang dinyatakan sehagai polutan utama.
Salah satu dari 16 jenis ini, benzo(a)pyrene dilaporkan sehagai senyawa PAH
dengan efek karsinogenik yang paling berbahaya (Maga, 1988), sehingga
benzo(a)pyrene dijadikan indikator adanva PAH dan digunakan sebagai indeks
kuantitatif adanya senyawa karsinogen dalam pangan.
Benzo[a]pyrene, C201-11), adalah
lima cincin PAH yang bersifat mutagen, sangat karsinogen, berbentuk padatan
kristal kuning yang merupakan senyawa hasil pembakaran tidak sempuma pada suhu
antara 350 dan 600 °C.
Keamanan produk asapan sangat
bervariasi tergantung pada metoda serta tujuan pengasapan. Pengasapan yang
bertujuan untuk pengawetan perlu dicermati karena memerlukan intensitas
pengasapan yang cukup lama agar senyawa pengawet dalam asap terdifusi cukup ke
dalam produk asapan, namun deposit senyawa karsinogen dan toksik juga akan
tinggi, serta aroma dan rasa asap yang sangat kuat. Pengasapan yang bertujuan
menghasilkan cita rasa asap pada produk, relatif sedikit terpapar oleh senyawa
toksik dan karsinogen karena intensitas pengasapan yang lebih ringan.
Tingkat pencemaran senyawa
karsinogen juga tergantung pada kayu yang digunakan sebagai bahan asap. Produk
asapan yang diasap menggunakan kayu apel akan terpapar PAH dengan konsentrasi
yang rendah sedangkan produk asapan yang diasap dengan kayu cemara akan
terkontaminasi PAH dalam bentuk benzo(a)pyrene pada konsentrasi yang tinggi
sampai 35.Q7 mg/kg, demikian juga kayu yang bergetah, pada proses pembakaran
akan menghasilkan asap dengan cemaran benzo(a)pyrene yang tinggi. Untuk
produk-produk asapan yang diasap secara tradisional, juga produk-produk yang
kontak langsung dengan nyala api pada suhu yang tinggi menunjukkan tingkat
cemaran benzo(a) pyrene yang tinggi seperti, ayam, ikan bakar serta sate bakar
(Darmadji, 1996; 2004). Dilaporkan dari total 44 sampel produk asapan 23 sampel
terpapar benzo(a)pyrene sebesar lebih 5.9 microgram per kg melebihi dari
persyaratan yang ditetapkan FAO/ WHO maksimum sebesar 1 microgram/ kg. (Yabiku,
dkk., 1993). Sit. Darmadji (2009)
BAB
III
KESIMPULAN
1.
Ikan yang diawetkan dengan pengasapan hanya mempunyai
daya awet yang relative singkat, tergantung kepada kesegaran ikan yang dipakai,
lama pengasapan, banyaknya asap yang terserap, serta kadar garam dan kadar air
pada produk akhir.
2.
Untuk mendapatkan ikan asap yang bermutu baik, maka
hal-hal yang harus diperhatikan ialah :
a. Kesegaran dan
kondisi ikan yang akan diasap
b. Konsentrasi
dan kebersihan larutan garam
c. Jenis kayu
yang digunakan sebagai sumber asap dan
d. Kontrol
terhadap suhu dan jumlah asap dalam kamar pengasap.
3.
Keamanan produk asapan sangat bervariasi, pengasapan
yang bertujuan untuk pengawetan perlu dicermati karena memerlukan intensitas
pengasapan yang cukup lama agar senyawa pengawet dalam asap terdifusi cukup ke
dalam produk asapan, namun deposit senyawa karsinogen dan toksik juga akan
tinggi, serta aroma dan rasa asap yang sangat kuat. Pengasapan yang bertujuan
menghasilkan cita rasa asap pada produk, relatif sedikit terpapar oleh senyawa
toksik dan karsinogen karena intensitas pengasapan yang lebih ringan.
DAFTAR
PUSTAKA
Adi
Pazwan, (2009). Asap Cair Kayu Karet dan aplikasinya untuk perbaikan warna dan pengawetan kayu karet.
Thesis S-2 Teknologi Hasil Perkebunan ,
2009
Barylko-Pikeilna
N., (1979). Contribution of smoke compound to sensory, bacteriostatic and antioxidative effect
in smoked food. Pure and Appl. Chem. 49(11)1667-1671
Darmadji, P. (2009)
Teknologi Asap Cair Dan Aplikasinya
Pada Pangan Dan Hasil Pertanian, teks Pidatu dalam pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Teknologi-rangan dan
Hasil Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada,
Jogyakarta
Darmadji,
P. (1996). Kadar benzopyren produk-produk asapan tradisional. Proceeding Seminar Nasional Makanan
Traditional. Hotel Jayakarta,
Yogyakarta, 1996.
Daun, 1979. Interaction of wood smoke componen
food, Food technol.. United Nation. New York.
http://erabaru.net/etalase/16481-lezatnya-daging-asap-homemade
http://bisnisukm.com/teknologii-pengawetan-ikan-dengan-cara-pengasapan.html
http://bisnisukm.com/teknologii-pengawetan-ikan-dengan-cara-pengasapan.html
Maga, 1988, Smoke in food processing, CRC Press. New
York
Ruiter, 1979, Mercury and selenium in marine- and
freswater fish, CIVO-Technologie,
afd. Instituut voor Visserijprodukten TNO, Holland
wah, berarti ikan asap dan ayam panggang mempunyai senyawa yang berbahaya ya?
BalasHapus