PENGARUH RASIO PENGGUNAAN DAGING TUTUT (Bellamya
javanicus) DAN DAGING SAPI TERHADAP SENSORI BAKSO TUTUT
Abstrak
Oleh : Wisnu Wardhono
Diversifikasi olahan produk tutut (keong sawah) dapat menjadi makanan
alternatif yang relatif mudah diperoleh khususnya masyarakat di Jawa barat, namun saat ini produk
bakso tutut relative masih belum banyak
dikenal , padahal bakso
tutut
dapat dikembangkan dengan mencampur daging dari sapi Tujuan Penelitian ini
adalah untuk : mengetahui pengaruh rasio penggunaan daging tutut dan daging sapi
terhadap,kesukaan pada tekstur, warna, bau dan rasa bakso tutut . Materi penelitian
ini adalah daging tutut dan daging sapi. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) adapun perlakuan rasio penggunaan daging tutut dengan daging sapi
sebagai
perlakuan sebesar 100% (daging tutut) ; 75 %
(daging tutut ), 50 % (daging tutut), dan 25% (daging tutut). Hasil penelitian: ada pengaruh yang nyata rasio
penggunaan daging tutut dengan daging sapi terhadap
kesukaan pada tekstur, kesukaan konsumen terhadap warna, bau, dan rasa bakso tutut. Bakso tutut yang dibuat dengan jumlah
daging tutut yang meningkat/semakin banyak dagingnya akan menurunkan kesukaan terhadap tekstur,demikian
juga sebaliknya. Hasil uji organoleptik untuk kesukaan terhadap warna, bau dan rasa yang paling disukai adalah bakso tutut yang dibuat dengan rasio
perbandingan 50 % daging tutut dan 50 % daging sapi. Saran untuk membuat bakso tutut sebaiknya
menggunakan daging tutut sebanyak 50% selebihnya daging sapi.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pemanfaatan tutut belum dilakukan secara optimal,
sementara tutut berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk bernilai tambah,
yaitu diolah menjadi seperti bakso , kripik tutut, kerupuk tutut sate tutut dan
lain-lain. Permasalahannya, tutut memiliki karakteristik daging kuning
kehitaman, hal ini akan menghasilkan bubur tutut dengan kemampuan pembentukan
gel yang rendah dan warna yang gelap serta berbau amis.
Berbeda dengan
daging lain, daging keong memerlukan penanganan khusus agar tidak mengeluarkan
aroma amis saat di konsumsi. . Perlakuan alkalis atau mencampurkan keong dengan sedikit kapur dan
memilih keong yang benar-benar fresh
alias masih hidup untuk langsung dimasak selama 2 jam dapat menghilangkan masalah tersebut.
Diversifikasi olahan produk daging tutut seperti Bakso
tutut dapat menjadi makanan alternatif di Jawa Barat , namun saat
ini produk bakso tutut relative masih belum banyak dikenal padahal bakso
tutut dapat dikembangkan dengan mencampur daging
dari sapi, ayam dll. Hal ini dimaksudkan selain untuk
meningkatkan kualitas gizinya juga mempertahankan
rasa kesukaan konsumen agar bakso tutut dapat
diterima konsumen
Sebagaimana diketahui, dari aspek gizi disamping
mengandung protein yang tinggi , ternyata dalam tutut juga
dikandung adanya makronutrien, berupa
protein dalam kadar yang cukup tinggi pada tubuhnya. Berat daging satu ekor
keong sawah dewasa dapat mencapai 4-5 gram. Selain makronutrien, keong sawah
ini juga mengandung mikronutrien yang berupa mineral, terutama kalsium yang
sangat dibutuhkan oleh manusia.
Hasil penelitian untuk kandungan
nutrisi keong sawah ini menyatakan bahwa keong sawah kaya akan protein dan
rendah lemak. Diperkirakan keong mengandung 15% protein, 2.4% lemak dan sekitar
80% air. Hal ini yang membuat keong sawah menjadi makanan alternatif kesehatan.
Selain itu keong juga kaya kandungan essential
fatty acids seperti linoleic acids
dan linolenic acids. Sebuah studi
menyebutkan bahwa 75% lemak di tubuh keong adalah unsaturated fatty acids. Artinya lemak yang baik dan dibutuhkan
tubuh. Selain itu tutut ternyata selain murah dan nikmat bergizi juga bisa
meningkatkan vitalitas dan stamina.
Disisi lain daging sapi
yang sudah lama dikenal masyarakat sebagai bahan baku produk bakso saat ini
harganya semakin mahal , Oleh karena itulah untuk meningkatkan kesukaan
konsumen akan olahan bakso tutut maka perlu diteliti lebih lanjut terutama yang berkaitan dengan Rasio
antara daging tutut dengan daging sapi. .
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian adalah : Apakah pengaruh rasio
penggunaan daging tutut dan daging sapi terhadap uji kesukaan pada
tekstur, warna, bau dan rasa baso tutut.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian secara
khusus untuk mengetahui pengaruh rasio penggunaan daging tutut
dan daging sapi terhadap uji kesukaan pada tekstur, warna, bau dan rasa baso
tutut.
TINJAUAN PUSTAKA
Tutut disebut juga Keong sawah (Bellamya javanica)
adalah sejenis siput air yang mudah dijumpai di perairan tawar Asia tropis,
seperti di sawah, aliran parit, serta danau. Hewan bercangkang ini dikenal pula
sebagai keong gondang, siput sawah, atau siput air,. Bentuknya agak menyerupai
siput murbai, masih berkerabat, tetapi keong sawah memiliki warna cangkang
hijau pekat sampai hitam.
Sebagaimana anggota Ampullariidae
lainnya, ia memiliki operculum, semacam penutup/pelindung tubuhnya yang lunak
ketika menyembunyikan diri di dalam cangkangnya. Hewan ini dikonsumsi
secara luas di berbagai wilayah Asia Tenggara dan memiliki nilai gizi yang baik
karena mengandung protein yang cukup tinggi. Meskipun demikian, kewaspadaan
perlu diberikan karena keong sawah adalah inang dari beberapa penyakit parasit.
Selain itu, hewan yang diambil dari dekat persawahan dapat menyimpan sisa
pestisida di dalam tubuhnya.
Tutut, paling banyak ditemukan di sawah, di mana air sawah meski
berlumpur tapi juga relatif bening. Habitat lainnya di tempat yang juga mirip
sawah, yang airnya cukup bening, berlumpur dan airnya tak berarus/bergerak.
Siang hari tutut ini bersembunyi ke dasar lumpur sehingga sulit dicari dan
dikumpulkan. Malam hari ia menyebar menempel-nempel di batang padi atau
tumbuhan lainnya. Pedagang tutut di pasar tradisional biasanya mengumpulkan
keong sawah tersebut pagi hari, saat tutut masih berada di permukaan air dan
menempel-nempel di batang padi.
Tutut mengandung zat gizi makronutrien berupa protein dalam kadar yang
cukup tinggi pada tubuhnya. Berat daging satu ekor tutut dewasa dapat mencapai
4-5 gram. Selain makronutrien, tubuh tutut juga mengandung mikronutrien berupa
mineral, terutama kalsium yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Dengan
pengelolaan yang tepat, tutut dapat dijadikan sumber protein hewani yang
bermutu dengan harga yang jauh lebih murah daripada daging sapi, kambing atau
ayam. Di bawah ini dapat dilihat gambar tutut atau sering disebut dengan keong
sawah :
Gambar
1 Tutut (Keong sawah)
Menurut tulisan dari jurnal Warta Konservasi Volume 14 No. 3, Juli 2006,
tentang Lahan Basah dari Wetlands International. Sawah sebagai salah satu tipe
lahan basah buatan tidak hanya berperan penting dalam menyediakan jenis-jenis
tanaman menyehatkan, namun juga merupakan tempat hidup berbagai binatang air,
mulai dari Protozoa (binatang bersel tunggal) sampai vertebrata (binatang
bertulang belakang) seperti ikan dan katak. Moluska (keong-keongan dan kerang
serta kerabatnya) termasuk juga binatang yang memanfaatkan sawah sebagai tempat
hidupnya. Moluska yang hidup di perairan tawar dapat dijabarkan ke dalam kelas
Gastropoda yang kita kenal dengan nama keong (bercangkang tunggal) dan kelas
Pelecypoda/Bivalvia atau kerang (cangkangnya berkeping dua). Dari catatan
pustaka, moluska air tawar yang pernah ditemukan hidup di perairan sawah, ada
sebanyak 32 jenis (27 jenis Gastropoda dan 5 jenis Pelecypoda/Bivalvia). Moluska
bercangkang tunggal, terdiri dari dua kelompok, yaitu Operculata yang
dilengkapi operkulum (penutup cangkang) dan Pulmonata, yang tanpa operkulum.
Dibawah ini gambar daging dari tutut :
Gambar
2 daging tutut
Teknologi pengolahan keong di Indonesia belum berkembang dengan baik hal ini disebabkan karena kurang populernya
keong sawah untuk produk olahan makanan. Teknologi pengolahan tutut di
indonesia hanya terbatas pada pengolahan menjadi masakan tradisionil saja,
padahal dilihat dari kandungan gizinya sangat menjanjikan dan teknologi daging
lumat (Surimi) memungkinkan diterapkan untuk pemanfaatan keong menjadi bernilai ekonomis tinggi. Surimi adalah produk
setengah jadi yang diolah dengan melumatkan daging ikan, udang, kepiting atau
keong-keongan, kemudian dicuci dengan air dingin untuk menghilangkan sifat
organoleptis yang kurang menarik dan setelah itu dipisahkan airnya.
Surimi merupakan teknologi pengolahan daging ikan yang secara tradisional
telah digunakan oleh masyarakat Jepang dengan menggunakan peralatan yang
sederhana. Saat ini pengolahan surimi secara komersial telah diproduksi secara
mekanis. Pabrik surimi dapat ditemukan di beberapa lokasi di Indonesia. Surimi
dapat dipasarkan dalam keadaan beku. Surimi dan daging lumat merupakan produk setengah
jadi yang dapat diolah menjadi berbagai jenis produk, seperti bakso, sosis,
nugget, burger, sate lilit, otak-otak, dan pempek. Di Jepang, surimi diolah
menjadi kamaboko, chikuwa, hanpen, dan fish ham. Selain itu surimi juga dapat
digunakan untuk produksi surimi based products seperti produk analog udang ,
daging kepiting, kerang/keong-keongan.
B.
Daging Sapi
Daging adalah
bahan pangan asal ternak yang kaya akan kandungan nilai nutrisi antara lain
mengandung unsur-unsur air , protein , lemak mineral dan vitamin.
Komposisi ini yang membuat bahwa daging merupakan bahan makanan yang mempunyai
nilai gizi tinggi sehingga bermanfaat bagi
pemenuhan kebutuhan tubuh dan secara tidak langsung juga merupakan media
yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, sehingga daging cepat mudah
rusak. Acker (1971)
Nilai kalori daging banyak
ditentukan oleh kandungan lemak intraseluler
didalam serabut-serabut otot yang disebut lemak marbling
atau Intramusculer. Nilai kalori daging
juga tergantung pada jumlah daging yang dimakan. Secara relative , kandungan
gizi daging dari berbagai ternak. ( Soeparno, 1994 )
Selain itu dikatakan juga , kualitas daging
sangat dipengaruhi oleh factor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum
pemotongan yang mem-pengaruhi
kualitas daging antara lain genetic, spesies , bangsa. Type ternak ,
jenis kelamin , umur , stress dan pakan ternak . Adapun factor sesudah
pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging adalah pelayuan , pemasakan ,
pH karkas dan daging , enzim pengempuk ,
hormon dan antibiotic
Menurut
Soeparno ( 2001) bahwa daging yang digunakan dalam proses pembuatan bakso
adalah daging yang belum mengalami rigormortis, hal ini dikarenakan filamen aktin dan miosin daging yang saling menindih dan terkunci bersama-sama membentuk
ikatan aktomiosin yang permanen
sehingga daging menjadi lebih padat dan bakso yang dihasilkan menjadi lebih
kenyal dan padat.
Lebih jauh dikatakan juga bahwa kualitas bakso ditentukan oleh bahan
mentahnya terutama jenis dan mutu daging, macam tepung yang
digunakan serta perbandingannya didalam adonan. Faktor lain seperti bahan
tambahan dan cara pemasakan sangat mempengaruhi mutu bakso yang dihasilkan.
Sedangkan
dikatakan bakso mempunyai mutu yang baik menurut wibowo (1985) adalah apabila bakso
tersebut mempunyai tekstur yang kompak, tidak lembek, tidak basah berair dan
tidak rapuh , mempunyai rasa lezat, enak rasa
daging dominan dibanding rasa bumbunya, serta mempunyai warna coklat
muda , cerah atau sedikit kemerahan, warna tersebut harus merata, tanpa warna
lain yang mengganggu.
Kualitas bakso
ditentukan oleh terutama jenis atau mutu
daging , macam tepung yang digunakan serta perbandingannya didalam adonan.
Faktor lain seperti bahan tambahan dan cara pemasakan sangat mempengaruhi mutu
bakso yang dihasilkan. (Anonymus, 1997).
C. Baso tutut
Bahan utama bakso tutut adalah bubur
tutut yang dibuat dari daging tutut segar, dan daging sapi sebagai pencampur. Flavor
bakso sangat dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan. Untuk mendapatkan produk
bakso yang lezat dan teksturnya kompak perlu ditambahkan:
a) tepung tapioka sekitar 10% – 15%
b) es batu 15 – 20 %
c) garam NaCl halus 2,5%
d) bawang putih 3%
e) bawang merah 2 - 2,5%
f) lada sebesar 0,5% dari berat daging.
Proses pembuatan
bakso tutut adalah sebagai berikut: daging tutut dan daging sapi dengan rasio
perbandingan yang telah ditentukan kemudian dibersihkan dan dilumatkan
menggunakan alat penggiling daging atau meat sparator / food prosessor. Daging
lumat campuran tersebut dicuci / direndam selama 10 menit menggunakan air
dingin atau air es yang bersuhu 5 OC. Daging lumat yang sudah dicuci dan ditiriskan,
digiling dengan garam, bumbu, tepung tapioka dan es batu hingga rata. Adonan
yang sudah homogen dicetak menjadi bola-bola bakso yang siap direbus dengan air
mendidih secara bertahap hingga matang. Bila bakso sudah mengapung dipermukaan
air, berarti bakso sudah matang dan siap diangkat. Bakso yang sudah diangkat,
ditiriskan dan didinginkan. Selanjunya dikemas dengan kantong plastik dan ditutup
rapat. Untuk mengawetkan bakso dapat disimpan dalam lemari pendingin atau
refrigerator bersuhu 5 OC.
Pemberian es batu pada adonan
dimaksudkan untuk pembentukan gel. Mengingat selama penanganan, pengilingan dan
pembentukan emulsi aktomiosin tidak boleh mengalami denaturasi, oleh karena itu
selama proses tersebut suhu daging dipertahankan dibawah 15 °C .
Pada pembuatan adonan (emulsi)
ditambahkan garam dapur, pati dan bumbu¬bumbu. Garam ditambahkan pertama kali
dan digunakan untuk mengekstrak protein aktomiosin sehingga terbentuk pasta sol
aktomiosin. Selain itu garam juga digunakan sebagai bumbu untuk menambahkan
cita rasa asin. Garam dapur yang digunakan sekitar 2,5 - 3 persen. Penggunaan
garam yang terlalu banyak sekali menimbulkan rasa asin yang berlebihan juga
menyebabkan denaturasi protein. Penggunaan garam yang terlalu sedikit
menyebabkan tekstur bakso yang dihasilkan kurang baik karena ekstraksi protein
aktomiosin kurang sempurna.
Pati ditambahkan untuk memperbaiki
adonan, meningkatkan daya ikat air, memperkecil penyusutan dan memperbaiki
tekstur. Penggunaan pati berkisar antara 0 - 3 persen. Bahan lain yang
digunakan dalam pembuatan bakso yaitu gula, putih telur dan MSG. Gula yang
digunakan biasanya sukrosa untuk menimbulkan rasa manis dan menghambat
denaturasi protein aktomiosin karena meningkatkan tegangan permukaan air. Putih
telur digunakan untuk memperbaiki penampakan produk, sedangkan MSG untuk
meningkatkan cita rasa.
Pencetakan adonan bakso harus segera
dilakukan untuk menghindari terbentuknya gel
suwari. Adonan yang sudah membentuk gel akan sulit dicetak. Proses
pemanasan menyebabkan terjadinya pembentukan gel. Pada saat pemanasan, adonan (sol aktomiosin) akan berubah membentuk gel "suwari". Selanjutnya pada
suhu sekitar 60° C terjadi pelunakan gel pada suhu di atas 70°C terbentuk gel bakso
yang kenyal dan elastis. Pemanasan dapat dilakukan dengan perebusan,
pengukusan, penggorengan
D.
Uji Organoleptik
Menurut
Winarno dkk (1984) bahwa cita rasa sebagian besar bahan pangan biasanya tidak
stabil yaitu dapat mengalami perubahan selama dalam penanganan, pengolahan dan
penyimpanan. Secara subyektif cita rasa makanan dapat diamati dengan cara
organoleptik. Cita rasa bahan makanan sebenarnya terdiri dari 3 komponen yaitu
bau, rasa dan tekstur.
Penilaian
indra juga disebut penilaian organeleptik. Metode dalam uji organoleptik
biasanya digunakan untuk membedakan kualitas makanan tentang rasa, bau dan
warna yang secara lansung dapat dibedakan. Secara baris besar sensory test dibedakan atas uji kesukaan
dan uji perbedaan. Pada uji perbedaan penulis diminta untuk membedakan produk
dari dua perlakuan atau lebih. Sedangkan pada uji kesukaan penulis diminta
untuk menetukan produk mana yang paling disukai diantara perlakukan tersebut
(Soewarsono, 1985).
Spesialis sensori
dan ahli ilmu pangan mengklarifikasikan uji sensori sebagai berikut : Pengujian
yang digunakan untuk mengevaluasi presensi, penerimaan atau derajad kesukaan
terhadap produk pangan disebut oengujian yang berorientasi pada konsumen (consumer oriented). Pengujian yang
digunakan untuk mengetahui perbedaan diantara produk atau untuk mengukur
karakteristik sensori disebut pengujian yang berorientasi pada produk ( Product – oriented ).
MANFAAT
PENELITIAN
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi pada masyarakat dengan dikenalkannya bakso tutut
serta diharapkan dapat meningkatkan kesukaan konsumen akan tutut , dalam
jangka panjang secara tidak langsung
dengan meningkatnya konsumsi tutut sebagi sumber protein akan mengurangi gejala kekurangan kalori
protein (KKP) di masyarakat yang dapat menyebabkan pertumbuhan anak lambat.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 9
Oktober 2011 di Laboratorium
Fakultas Pertanian Universitas Bandung Raya.
A. Batasan variable
1.
Bakso tutut adalah produk olahan daging tutut dengan
penambahan daging sapi dengan rasio yang berbeda beda sesuai perlakuan yang
dihaluskan dan dicampur dengan tepung tapioca dan bumbu bumbu kemudian dibentuk
bulat bulat dan direbus hingga matang terapung.
2.
Kadar protein kasar adalah
jumlah protein kasar yang terdapat dalam bakso tutut , analisa protein kasar
menggunakan petunjuk Sudarmaji ( 1999).
3.
Uji organoleptik adalah uji
kesukaan bakso tutut dengan menggunakan panelis parameter kesukaan yang diamati meliputi : rasa , bau, warna dan tekstur bakso
tutut Uji organoleptik menggunakan
metode berdasarkan metode Larmond ( 2000)
B. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian percobaan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) . Perlakuan
Penelitian dilakukan untuk menentukan
rasio penggunaan daging tutut
dengan daging sapi yaitu :
·
P1 = pemberian rasio daging tutut
dan daging sapi sebesar 100 % : 0
%
·
P2 = pemberian rasio daging tutut
dan daging sapi sebesar 75 % : 25
%
·
P3 = pemberian rasio daging tutut
dan daging sapi sebesar 50 % : 50
%
·
P4 = pemberian rasio daging tutut dan daging
sapi sebesar 25 % : 75 %
·
Kontrol = pemberian daging sapi
100 %
Masing masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali
C. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan
analisis variansi dan apabila pada perlakuan terdapat perbedaan nyata, maka
dilanjutkan Uji Beda Nyata Terkecil ( BNT) .
Uji kesukaan konsumen akan produk bakso tutut
yang dibuat dengan rasio yang berbeda
berdasarkan metode Larmond ( 2000) . Pengujian ini berorientasi pada
konsumen dengan menggunakan uji hedonic. Uji hedonic didesain untuk mengukur
derajad kesukaan konsumen terhadap suatu produk. Panelis menujukan derajad
kesukaannya pada setiap contoh bakso tutut dengan memilih kategori yang sesuai. Pada uji
ini memakai scala skoring dengan jumlah panelis 30 orang. Bahan yang dinilai dalam bentuk masak
yang dinilai adalah warna, bau, tekstur
dan rasa. Adapun skor masing masing
panelis adalah :
·
Amat Sangat menyukai : 5
·
Menyukai : 4
·
Agak menyukai : 3
·
Tidak menyukai : 2
·
Sangat tidak menyukai : 1
Adapun formulasinya adalah sebagai berikut :
BAHAN
BAHAN
|
FORMULASI
|
|||
K25(g)
|
K50(g)
|
K75
(g)
|
K100(g)
|
|
Daging Sapi
|
375
|
250
|
125
|
0
|
Daging Tutut
|
125
|
250
|
375
|
500
|
Tep Tapioka
|
50
|
50
|
50
|
50
|
Garam
|
5
|
5
|
5
|
5
|
Bawang Putih
|
10
|
10
|
10
|
10
|
Lada
|
10
|
10
|
10
|
10
|
Putih Telur
|
10
|
10
|
10
|
10
|
STF(SodiumTripoliFosfat)
|
1
|
1
|
1
|
1
|
MSG
|
1
|
1
|
1
|
1
|
Sumber : Pancapalaga W. (2005)
Untuk K0, sebagai
control maka pemberian daging tutut tidak diberikan sama sekali hanya
menggunakan daging sapi 100 % (500 g) sedang bumbu yang lainnya sama.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesukaan Terhadap Teksturs Baso
Tutut
Rataan
kadar protein
bakso tutut pada berbagai perlakuan dapat ditunjukkan
pada table berikut
:
Tabel 1 : Kesukaan terhadap Tekstur
Bakso Tutut
Perlakuan
|
K100
|
K75
|
K50
|
K25
|
K0
|
2,84
|
3,00
|
3,96
|
4,00
|
4,23
|
|
Notasi
|
a
|
a
|
b
|
b
|
c
|
Dari hasil analisis dua beda rata-rata menunjukan bahwa rasio penggunaan daging tutut dan daging sapi memberikan pengaruh
yang berbeda
nyata pada taraf 5% terhadap kesukaan
terhadap tekstur bakso tutut, semakin banyak daging tutut
dalam pembuatan bakso tutut ternyata memberikan nilai kesukaan yang rendah. Hal ini disebabkan karena kadar air
dari daging sapi lebih rendah dibanding protein daging tutut, akibatnya emulsi yang terbentuk oleh
daging sapi lebih kental dan apabila dibuat menjadi baso lebih keras dan padat.
Demikian pula apabila penambahan daging tutut lebih banyak dari daging sapi
maka tekstur akan lebih lembek dan kurang disukai oleh panelis.
Tekstur merupakan parameter yang penting dalam mengukur
mutu makanan
berbahan daging termasuk tutut. Pada umumnya, tutut memiliki tekstur daging yang lebih lembut dari daging sapi karena mengandung
jaringan penghubung (connective tissue)
yang rendah dan jaringan silang (cross-linking)
yang lebih rendah. Perubahan tekstur daging tutut terjadi terutama karena berubahnya jaringan
penghubung oleh protease endogen.
Pelunakan dan pelembutan daging dikaitkan dengan
hilangnya piringan-piringan Z pada sel otot dengan terlepasnya α-actinin,
pemisahan actomyosin kompleks,
penghancuran dan denaturisasi total jaringan penghubung. Pencernaan sarcolema
secara proteolisis yang menghubung kan bagian-bagian struktural yang utama merupakan
penyebab utama pelunakan. Protease otot, termasuk cathepsin D dan cathepsin L, protease yang teraktivasi
oleh kalsium (calpain), trypsin, chymotrypsin, alkaline protease, dan kolagenase
Kesukaan terhadap Warna Bakso Tutut
Rataan Uji kesukaan
terhadap Warna
bakso tutut pada berbagai perlakuan
ditunjukkan pada tabel berikut :
Tabel 2 : Kesukaan terhadap warna
Bakso Tutut
Perlakuan
|
K100
|
K75
|
K50
|
K25
|
K0
|
1.12
|
1.74
|
3.80
|
4.20
|
4.22
|
|
Notasi
|
a
|
a
|
b
|
b
|
b
|
Dari hasil analisis ragam menunjukan bahwa
Rasio penggunaan daging sapi dan daging tutut terhadap Uji kesukaan terhadap
warna bakso tutut memberikan pengaruh
yang nyata pada taraf 5%, semakin banyak daging tutut dalam pembuatan bakso tutut ternyata
memberikan
warna yang tidak disukai konsumen. Hal ini disebabkan karena warna daging tutut
setelah digiling menunjukkan warna kehijau hijauan , dan warna ini terasa asing
bagi konsumen . Namun demikian setelah dilakukan Uji BNT untuk penggunaan
daging tutut 50 % warna kuning kehijauan hijauan tertutup dengan perubahan warna daging sapi sehingga konsumen tidak
bisa
membedakan antara warna bakso daging sapi dengan yang dicampur daging tutut.
Perubahan warna daging
sapi disebabkan oleh perubahan mioglobin berubah warna menjadi coklat saat
dimasak. Hal ini disebabkan oleh proses oksidasi atom besi yang terkandung
dalam mioglobin itu sendiri, ketika mioglobin terkena oksigen, tingkat oksidasi
atom besi adalah +2 dan terikat ke molekul dioksigen (O2), yang akan
membuat daging tampak merah cerah. Ketika daging dimasak, atom besi ini akan
kehilangan elektron dan tingkat oksidasi atom besi menjadi +3. Hal ini akan
membuat daging tampak berwarna cokelat. Selanjutnya warna coklat inilah yang
mendominasi warna bakso tutut.
Kesukaan terhadap Bau Bakso Tutut
Rataan Uji kesukaan
terhadap bau bakso tutut pada berbagai perlakuan
ditunjukkan pada tabel berikut :
Tabel 3 : Kesukaan terhadap Bau Bakso Tutut
Perlakuan
|
K100
|
K75
|
K50
|
K25
|
K0
|
1.4
|
2.3
|
3.56
|
4.25
|
4.3
|
|
Notasi
|
a
|
a
|
b
|
b
|
b
|
Dari hasil analisis ragam menunjukan bahwa
Rasio penggunaan daging sapi dan daging tutut terhadap uji kesukaan terhadap bau bakso tutut memberikan
pengaruh yang nyata pada taraf 5% terhadap Uji, semakin banyak daging tutut dalam pembuatan bakso tutut
ternyata memberikan
bau yang
tidak disukai konsumen. Hal ini disebabkan karena bau daging tutut setelah dibuat bakso masih berbau amis dan bau amis ini
menurut panelis masih sangat terasa pada penambahan daging tutut lebih besar
75%. Bau amis
ini disebabkan karena berasal
dari hasil penguraian (dekomposisi), terutama amonia, berbagai senyawa belerang
dan bahan kimia bernama amina yang berasal dari hasil penguraian asam-asam
amino. Demikian pula terbentuknya bau amis ini berasal dari banyaknya
lemak tidak jenuh teroksidasi dibandingkan dengan lemak jenuh. Oksidasi
terhadap lemak mengubah mereka menjadi asam organik berbau amis, yang pada
gilirannya menambah aroma yang tidak sedap.
Bau
amis masih terasa meskipun diolah, untuk mengurangi bau amis dapat dilakukan dengan perendaman dalam larutan alkalis. Namun demikian
setelah dilakukan Uji BNT untuk penggunaan daging tutut 50 % bau amis tertutupi dengan bau daging sapi sehingga konsumen tidak bisa
membedakan antara bau bakso daging sapi
dengan yang dicampur daging tutut.
Kesukaan terhadap Rasa Bakso Tutut
Rataan Uji kesukaan
terhadap Rasa
bakso tutut pada berbagai perlakuan
ditunjukkan pada tabel berikut :
Tabel 4 : Kesukaan terhadap Rasa Bakso Tutut
Perlakuan
|
K100
|
K75
|
K50
|
K25
|
K0
|
2.05
|
2.1
|
3.73
|
4.01
|
4.75
|
|
Notasi
|
a
|
a
|
b
|
b
|
c
|
Dari hasil analisis ragam menunjukan bahwa Rasio penggunaan daging
sapi dan daging tutut terhadap Uji kesukaan
terhadap rasa
bakso tutut memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5%, semakin
banyak daging tutut yang ditambahkan
pada pembuatan
bakso tutut ternyata memberikan rasa yang tidak disukai konsumen. Hal ini disebabkan karena
rasa daging tutut setelah dibuat bakso kurang memenuhi selera konsumen , sebagian besar menyatakan rasa
bakso tutut berkaitan dengan tekstur yaitu terlalu lembek dan lengket , Hal ini disebabkan karena bakso daging tutut perlu penambahan pengenyal sehingga
kelembekkan bisa teratasi. Namun demikian setelah dilakukan Uji BNT untuk penggunaan
daging tutut 50 % dan 25 % rasa bakso
daging tutut yang paling disukai.
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1.
Ada Pengaruh yang nyata rasio
penggunaan daging tutut dengan daging sapi terhadap uji tekstur, warna, bau dan rasa bakso tutut.
2.
Bakso tutut yang dibuat dengan
semakin banyak daging tututnya akan menurunkan kekenyalan akibatnya tekstur semakin tidak disukai. Kesukaan terhadap tekstur baso tutut yang paling
disukai yaitu pada penambahan daging tutut 50%
3.
Demiikian
pula hasil uji kesukaan terhadap untuk warna , bau dan rasa yang paling
disukai adalah bakso tutut yang dibuat dengan rasio perbandingan 50% daging tutut.
B. Saran
Untuk membuat bakso tutut sebaiknya menggunakan
rasio perbandingan 50 % daging tutut dan 50 % daging sapi.
DAFTAR PUSTAKA
Andjar sardjimah
dan Purwanto , 2000. Tutut sebagai Alternatif Sumber Protein .
dalam prosiding Seminar Nasional Makanan Tradisional PKMT Unibraw. Malang
Baswardono ,
1999. Studi Teknis Teknologi Tepat Guna untuk Pengolahan Ikan
Tradisional . Direktorat Jendral
Perikanan
Hesti warih.
1999. Pengolahan tutut dengan menggunakan air sungai , sumur dan
PDAM dalam diktat Ahli Usaha Perikanan Jakarta.
Kriston E.S. 1995 . Mempelajari Teknologi Pembuatan
Sosis dalam laporan magang Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor
Novitri R.M.
2001. Analisis Finansial Usaha Pembuatan petis tutut di perusahaan
Karunia Jaya
Desa Balongdowo Kecamatan candi Kabupaten Sidoarjo Fakultas Perikanan.
Universitas Brawijaya. Malang
Purwanto dan Andjar Sardjinah ( 2000) Profil Kandungan
Asam Lemak dalam makanan tradisional Khas Jawa Timur dalam prosiding seminar nasional Makanan Trdasional PKMT unibraw Malang
Subani, W.Suwiryo , Suminarti 2000. Penelitian
Lingkungan Hidup Perairan Tutut, Pemanfaatan hasil dan Pelestarian Sumbernya dalam laporan perikanan
laut nomor 23 BPPL Departemen Pertanian . Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar